Tantangan Pembangunan Dayah

 Oleh Teuku Zulkhairi

HARAPAN dan inovasi pembangunan dayah (baca: pesantren) oleh Pemerintah Aceh bertumpu pada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), yang dibentuk pada 2008. Setidaknya ini dari perspektif ‘lingkaran luar’ dayah. Adapun dari `lingkaran dalam’ pendidikan dayah, ada atau tidaknya badan ini tidak terlalu berpengaruh. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa dayah terus eksis menjadi sub sistem yang kuat dan mengakar dalam masyarakat bisa terus eksis tanpa adanya perhatian pemerintah.

Kendati demikian, mungkin semua akan sepakat bahwa terbentuknya badan dayah seharusnya bisa memacu pembangunan dan inovasi pendidikan dayah, baik pembangunan fisik maupun pembangunan dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai tujuan dari pendidikan dayah itu sendiri serta juga tujuan utama dibentuknya BPPD atau Badan Dayah oleh pemerintah Aceh. Namun realitasnya, saat ini pemerintah Aceh justru menunjukkan ketidakseriusannya dalam membangun dayah.

Setidaknya, hal itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran yang diplot untuk Badan Dayah, yang pada 2013 ini, anggarannya dipangkas habis menjadi yang paling sedikit sepanjang sejarah lahirnya Badan Dayah. Padahal, pembangunan kualitas dayah juga butuh anggaran besar. Tidak bisa pemerintah hanya berharap, namun tidak mendukung dari segi anggaran. Inilah sebenarnya tantangan besar bagi dayah di Aceh. Dayah diharapkan terus memacu kualitas dan kemandiriannya, namun dukungan pada sektor anggaran sangat minim.

 Anggaran menurun
Tahun 2013 ini plot anggaran untuk dayah hanya sebesar Rp 25,9 miliar, dan trendnya terus menurun sejak awal pembentukan lembaga tersebut. Pada 2009, misalnya, anggaran dayah dialokasi sebesar Rp 200 miliar lebih, tahun 2010 turun menjadi Rp 100 miliar, tahun 2011 turun menjadi Rp 98 miliar, tahun 2012 lalu turun ke angka Rp 58 miliar, dan puncaknya tahun anggaran 2013 ini, menukik ke angka Rp 25,9 miliar.

Bayangkan, untuk program pengadaan buku di Dinas Pendidikan saja anggarannya mencapai Rp 100 miliar lebih. Padahal, DIPA Aceh tahun anggaran 2013 ini adalah yang terbesar dalam sejarah APBA seperti diberitakan Serambi beberapa waktu lalu. Secara yuridis, plot 20% anggaran untuk pendidikan bukan hanya untuk pendidikan umum saja lewat Dinas Pendidikan, akan tetapi juga untuk pendidikan dayah lewat Badan Dayah, seperti diamanahkan UUPA dan Qanun Pendidikan Aceh. Apalagi, fakta membuktikan bahwa dayah adalah benteng terakhir penegakan syariat Islam di Aceh.

Patut dicatat, bahwa membangun dayah tidak bisa dalam waktu singkat. Kita memang berharap agar dayah terus mandiri, tapi semua itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya. Dayah memang akan tetap eksis dengan atau tanpa perhatian pemerintah karena memang dayah dikelola secara ikhlas, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Namun, jika berbicara tentang upaya membangun Aceh yang Islami, maka sangat tidak bisa dipahami jika pembangunan dayah tidak menjadi prioritas.

Alasan bahwa Badan Dayah tidak memiliki program yang bagus untuk pembangunan dayah sehingga anggaran dipangkas sungguh tidak bisa diterima dengan logika yang sehat. Seharusnya, jika memang Badan Dayah tidak mampu membuat Renstra atau program yang konstruktif, semestinya lembaga itulah yang harus ditata kembali, termasuk kualitas personal pengelolanya. Beri Badan Dayah ini tim ahli yang bisa memberikan ide-ide konstruktifnya untuk pembangunan dayah. Banyak akademisi dan ulama dayah yang mengerti kemana seharusnya arah pembangunan dayah.

Di balik kedua isu tersebut, persoalan yang lebih besar dan serius juga menimpa pendidikan dayah sebagai efek langsung hadirnya badan dayah. Meskipun kehadiran badan tersebut telah “berhasil” memacu beberapa sektor pembangunan dayah, namun harus kita akui berbagai image buruk justru terus menghantam kalangan dayah. Mulai dari persoalan data santri yang menurut sebagian kalangan tidak wajar, persoalan honor guru (baca: teungku) dayah “Satu Juta Rupiah” per tahun yang dianggap tidak layak diterima sehingga pada tahun 2013 anggaran dayah dipangkas habis oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dan BAPPEDA, persoalan pimpinan-pimpinan dayah yang sering bawa proposal dan stempel ke kantor,  banyak teungku dayah dianggap sudah sibuk dengan dunia, dan juga sederet persoalan lainnya yang bagi sebagian kalangan adalah hal yang tidak layak dilakukan oleh lingkaran dayah.

Pandangan dan penilaian terhadap dayah seperti itu adalah hal yang sangat wajar di satu sisi. Sebab, posisi dayah dianggap berbeda sama sekali dengan lembaga pendidikan non dayah lainnya. Lembaga pendidikan dayah diidentikkan dengan lembaga yang berorientasi kepada akhirat sepenuhnya. Sedang lembaga pendidikan non dayah diidentikkan dengan orientasi keduniaannya. Di sisi lain, munculnya masalah-masalah tersebut bagi sebagian kalangan dianggap sebagai “kesalahan” badan dayah. Badan ini dianggap gagal melakukan pembangunan yang memandirikan dayah dan juga gagal untuk menjaga lingkaran dayah agar tetap steril dari kesalahan dalam urusan administrasi pemerintahan. Kondisi ini ditambah lagi dengan minimnya konsep pembangunan dayah yang dimiliki badan dayah.

Badan dayah menjadi dilema
Pada titik ini, keberadaan Badan Dayah menjadi sebuah dilema bagi dayah. Di satu sisi, kehadirannya memberi manfaat untuk dayah, namun di sisi lain justru melahirkan reaksi dan respons sosial “negatif” pada dayah yang memiliki kasus seperti contoh di atas. Alhasil, posisi sebagian dayah saat ini dianggap tidak seperti dulu sebelum Badan Dayah lahir. Ini tidak seharusnya terjadi jika Badan Bayah mampu mengelola dan pembangunan dayah agar tetap di dalam jalur yang benar. Dayah tetap dibangun dalam berbagai sisinya, namun keberadaan dan `izzah dayah mestilah tetap terjaga seperti posisinya semula sebelum Badan Dayah hadir.

 Masih meraba-raba
Namun demikian, jika kita melihat umur Badan Dayah yang masih sangat muda, minimnya konsep pembangunan dayah yang sesuai dengan harapan banyak kalangan adalah sebuah kewajaran selama mereka terus mau berbenah, mau mendengar dan mau untuk terus berubah. Badan ini harus diakui masih meraba-raba di tengah “kegelapan” konsep pembangunan dayah, ditambah lagi dengan tidak adanya kemauan dan keseriusan pemerintah untuk membangun dayah sebagaimana yang penulis paparkan di atas.

Jadi, jika memang Pemerintah Aceh peduli kepada lembaga pendidikan dayah, seharusnyaa pemerintah menata kualitas pengelola Badan Dayah dan juga memberikan alokasi anggaran yang maksimal agar kehadiran badan ini tidak menjadi dilema bagi dayah, bukan justru mengurangi anggaran dan menempatkan orang-orang yang tidak tepat untuk mengelolannya. Jika memang tidak peduli, bubarkan saja badan tersebut sehingga pemerintah jelas tidak peduli kepada dayah.

Pilihan ini akan menyelamatkan lembaga pendidikan dayah dari keharusan menanggung resiko yang lebih besar dan image negatif ketika ada orang luar dayah yang bertanya dan meneliti, “Sekian lama Badan Dayah lahir, kenapa dayah belum juga maju?”. Padahal, pemerintah sendiri yang galau. Satu sisi berharap banyak pada lembaga pendidikan dayah agar lebih dinamis dan sesuai dengan tuntutan zaman, namun tidak mendukung dari aspek finansial dan sumber daya pengelola Badan Dayah yang mumpuni.

* Teuku Zulkhairi, MA, Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), dan Tim Peneliti pada Program Penelitian “Kemandirian Dayah” Tahun 2012 oleh Pascasarajana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com

Tantangan Pembangunan Dayah - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment