Korupsi dan Dunia Pendidikan

Oleh: Anton Widyanto

KORUPSI adalah sesuatu yang merusak tatanan kehidupan masyarakat sebuah bangsa. Korupsi adalah sesuatu yang potensial menjadikan masa depan negara menjadi suram. Korupsi adalah haram. Korupsi adalah aksi memperkosa ajaran agama. Korupsi adalah tingkah menjijikkan. Korupsi adalah bla....bla....bla....dst... dst. Ungkapan-ungkapan yang memposisikan korupsi sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif seperti ini --terlepas apakah ia tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau tidak-- tentu disepakati semua orang.

Meski demikian, faktanya sampai detik ini korupsi masih berlangsung dengan senantiasa memodifikasi modusnya, sehingga semakin sulit dilacak dan dibuktikan. Yang menarik (atau lebih tepatnya ironis), ketika korupsi juga ikut-ikutan terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi di tingkat perguruan tinggi.

Padahal, banyak pihak yang mensinyalir bahwa dari lembaga pendidikanlah mindset antikorupsi bisa ditanamkan. Dengan demikian, upaya melawan korupsi tidak hanya dilakukan dengan pemberantasan, akan tetapi juga pencegahan. Di sinilah, sekali lagi, lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) menduduki peran yang sangat signifikan.

 Kasus dugaan korupsi
Satu kasus dugaan korupsi yang baru-baru ini mencuat adalah yang terjadi di satu perguruan tinggi terkemuka di Aceh, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Seperti diberitakan, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan tiga tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah sebesar Rp 3,6 miliar, yang bersumber dari APBA 2009-2010 (Serambi, 20/4/2013).

Ketiga tersangka tersebut masing-masing Prof Dr Darni M Daud (mantan Rektor Unsyiah), Prof Dr M Yusuf Azis (mantan Dekan FKIP Unsyiah), dan Mukhlis (Kepala Keuangan Program Cagurdacil). Disinyalir kerugian negara sesuai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh adalah senilai Rp 3.618.623.500. Adapun pagu anggaran untuk program beasiswa calon guru daerah terpencil (Cagurdacil) dan Jalur Pengembangan Daerah (JPD) yang bersumber dari APBA 2009-2010 tersebut sekitar Rp 17,6 miliar.

Kasus korupsi di dunia perguruan tinggi memang tidak hanya menimpa Unsyiah sebagaimana diberitakan baru-baru ini. Malah setidaknya teridentifikasi ada 18 universitas negeri di Indonesia yang terindikasi terjadi tindak pidana korupsi dengan rata-rata kerugian miliaran rupiah (Kompas, 7/6/2012).

Enam tahun lalu, tepatnya tanggal 4 Januari 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI (diwakili Dr Sjahruddin Rasul SH) telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Unsyiah (diwakili Dr Darni Daud MA) dan IAIN Ar-Raniry (diwakili Prof Drs Yusny Saby MA, PhD) di Balai Senat Unsyiah. Nota Kesepahaman ini menyangkut tiga bidang: Pertama, pendidikan anti korupsi; Kedua, kampanye anti korupsi, dan; Ketiga, riset atau Kajian mengenai Pemerintahan yang baik dan benar. Pertanyaannya, apakah Nota Kesepahaman tersebut sudah dijalankan dengan baik?

Melihat fakta mencuatnya dugaan kasus korupsi yang menimpa Unsyiah baru-baru ini, sepertinya Nota Kesepahaman tersebut masih berhenti di atas kertas dan belum terimplementasikan dengan baik di lapangan. Padahal, sebagai dua perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang pendidikan di Aceh, baik Unsyiah maupun IAIN Ar-Raniry telah ikut mewarnai roda pembangunan kehidupan sosial, politik maupun budaya masyarakat Aceh. Keduanya merupakan simbol perubahan yang menjadi tumpuan harapan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Sudah semestinya Nota Kesepahaman pemberantasan dan pencegahan  korupsi yang telah ditandatangani oleh kedua perguruan tinggi terkemuka di Aceh tersebut (IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah) diingat kembali dan dipikirkan secara serius implementasinya di lapangan. Jika hal ini dapat diaktualisasikan dengan baik, bukan tidak mungkin efek dominonya akan menyebar pada perguruan-perguruan tinggi lain di Aceh.

Sudah barang tentu di sini semangat yang sama harus dimulai dari para pimpinan mulai dari tingkat rektorat sampai dekanat. Dengan pola top down sedemikian rupa, maka kebijakan-kebijakan antikorupsi dapat diturunkan. Hal ini menegaskan bahwa pimpinan harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat kampus yang dipimpinnya. Tanpa adanya keteladanan yang baik, maka tentu penyebaran semangat anti korupsi ini akan terkendala.

Lebih dari itu, adanya mental-mental korupsi yang selama ini masih berkembang di dunia kampus, mulai dari adanya berbagai macam setoran tak resmi (untuk tidak menyebut “upeti”), plagiarisme dalam membuat karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dan sebagainya), menyontek saat ujian dan sebagainya, harus diberikan hukuman yang berat secara internal. Harus dipahami bahwa semua perbuatan ini dalam perspektif Islam hukumnya adalah haram.

Pemahaman terkait status haram terhadap perbuatan-perbuatan tercela ini penting untuk ditanamkan kepada semua civitas akademika, sebab selama ini yang dipahami dalam konsep haram adalah terkait dengan jenis makanan dan hal-hal commonsense lain (khalwat, judi, zina, mencuri dan sebagainya). Ketika pemahaman ini mampu ditanamkan, maka akan memunculkan pertanggungjawaban moral antara orang yang mau melanggarnya dengan Allah swt.

 Badan antikorupsi
Yang tidak kalah pentingnya, sudah semestinya perguruan tinggi memiliki sebuah badan antikorupsi yang otonom baik di tingkat universitas/institut maupun fakultas. Lembaga ini tidak hanya bertugas menyosialisasikan atau mengampanyekan antikorupsi, akan tetapi juga bertindak sebagai perumus strategi dan kebijakan pelaksanaan pendidikan antikorupsi melalui aktivitas penelitian dan sebagainya, serta menjadi pengawas kebijakan-kebijakan pengelolaan anggaran di kampus.

Yang terakhir ini dirasa sangat urgen, sebab salah satu kelemahan yang muncul selama ini kinerja perguruan tinggi kurang mendapat pengawasan yang memadai. Kalaupun ada lembaga senat institut/fakultas, tidak jarang lembaga ini menjadi “perpanjangan tangan” dari rektor/dekan yang sedang menjabat. Tentu saja lembaga seperti ini akan sulit diandalkan dalam konteks pemberantasan dan pencegahan korupsi di perguruan tinggi.

Semoga dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mumpuni dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas secara intelektual, akan tetapi juga cerdas secara moral dan spiritual. Wallahu a’lam bis shawab.

* Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: widyanto_anton@yahoo.com & awidya09@gmail.com.


Korupsi dan Dunia Pendidikan - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment