Perempuan dalam 'Hibernasi Politik'

Oleh: Bisma Yadhi Putra

SEORANG mahasiswi bimbang. Dia mendapat lamaran dadakan dari salah satu parpol lokal untuk diusung di Pemilu 2014. Dia minta pendapat. Saya bilang, menjelang pemilu, parpol seperti beruang atau lelaki hidung belang yang suka “cinta satu malam”. Ada kecenderungan perempuan dibutuhkan menjelang dan saat pemilu berlangsung saja. Setelahnya, dicampakkan! Ini namanya “politik satu malam”, sebuah prinsip rekrutmen yang tujuannya hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap.

Parpol meminang perempuan secara dadakan guna memenuhi persyaratan penyertaan minimal 30 persen perempuan dalam daftar caleg di setiap daerah pemilihan (dapil). Peraturan KPU No.7/2013, mengharuskan dalam setiap tiga nama dalam daftar caleg, terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Parpol tidak diikutsertakan pada dapil yang tidak memenuhi syarat tersebut.

Ada parpol yang merasa optimis, ada pula yang keberatan. Alasan yang dikemukakan beragam, mulai soal izin dari suami, kondisi struktur dan kultur sosial, hingga persoalan kondisi finansial perempuan untuk pemenuhan logistik politik. Selain itu, ada yang beralasan banyak perempuan berkualitas layak direkrut, tetapi tidak tertarik bergabung ke parpol. Mengajak perempuan masuk ke dunia politik dinilai sukar. Parpol mengeluh.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu saja bukan masalah yang buntu dari solusi. Kendala minimnya kualitas perempuan, misalnya, bisa diatasi bila perekrutan dan pengaderan perempuan dilakukan jauh-jauh hari, tidak dadakan seperti sekarang. Idealnya parpol memulai perekrutan perempuan setelah pemilu untuk diusung pada pemilu berikutnya. Pengaderan dilakukan secara matang dan tidak dadakan.

Pengaderan berarti memberi pendidikan yang komprehensif tentang politik, dari hal-hal mendasar hingga persoalan-persoalan teknis kerja parlemen. Tentu saja pendidikan politik yang baik dan lengkap memerlukan waktu yang tidak singkat. Tidak cukup beberapa bulan saja menjelang pemilu. Benar bahwa sembari menjabat bisa mulai belajar. Akan tetapi, kalau belajar baru dimulai ketika menjabat, bisa dibayangkan bagaimana gagapnya seorang “anak baru” dalam lingkaran politik.

 Asal comot
Keikutsertaan perempuan sebagai caleg bisa sekadar untuk memenuhi syarat administrasi belaka. Tak peduli punya pengetahuan memadai tentang keperlemenan atau tidak, parpol asal comot saja. Sanksi tidak bisa ikut pemilu di dapil yang tak memenuhi persyaratan tersebut membuat parpol panik lalu berprinsip “siapa saja oke” dalam situasi demikian. Bahkan untuk sekadar memenuhi persyaratan administrasi, parpol bisa saja mencari “perempuan-perempuan sewaan”.

Kalau sudah begini, faktor kemenangan perempuan pun tak begitu diprioritaskan. Parpol sebatas fokus pada peningkatan jumlah caleg perempuan, bukan meningkatnya perempuan terpilih. Andaikan mendapat kursi, yang terpilih bisa jadi perempuan yang buta politik. Bukan perempuannya yang salah, tapi parpolnya yang tidak menyiapkan pengaderan jauh-jauh hari. Parpol kebakaran jenggot menjelang pemilu karena sadar betapa sulit merekrut caleg perempuan.

Pangkal dari kendala-kendala tersebut: tidak diterapkannya syarat ideologis oleh parpol. Penanaman ideologi mesti dilakukan secara konsisten jauh-jauh hari sebelum pemilu. Untuk itu, mau tidak mau parpol harus merekrut bakal caleg (khususnya perempuan) dengan mempertimbangkan periode pendidikan politik. Bagi parpol, terpenting dipenuhi dalam perekrutan hanyalah pemenuhan syarat administratif, tak diawali dengan syarat ideologis. Sanggup memenuhi syarat administratif belum tentu mampu memenuhi syarat ideologis.

Syarat administratif meliputi foto kopi KTP, ijazah, surat pencalonan (Model B, Model BA, Model BB, Model BB-1, dan seterusnya) serta hal-hal bersifat kedokumenan lainnya yang disyaratkan dalam pendaftaran. Sementara syarat ideologis meliputi: pengetahuan teoritis, memahami platform parpol, anutan nilai-nilai politik, dan kemampuan atau keterampilan politik. Syarat ideologis dipenuhi dengan mengenyam pendidikan politik.

Di sinilah letak pengaderan yang ideal. Barangsiapa yang gagal memenuhi syarat ideologis, maka tak perlu menyiapkan syarat administratif. Sebelum menerapkan syarat ideologis, tentu saja parpol harus memiliki garis ideologi yang tegas. Muara dari penerapan syarat ideologis adalah lahirnya legislator-legislator yang bertindak sesuai dengan fungsi ideologi.

Ideologi yang dianut parpol mesti tertanam mendalam pada benak kader, sehingga ada rasa kepemilikan yang kuat. Legislator-legislator yang lahir dari parpol dengan garis ideologi yang jelas akan selalu dahaga memenuhi kebutuhan ideologisnya. Agar penanaman ideologi efektif, maka kemudian penting adanya aturan syarat periode keanggotaan kader.

Idealnya, UU No.8/2012 mengatur masalah periode menjabat anggota parpol untuk bisa menjadi caleg. Misalnya, setiap kader yang diajukan parpol sebagai caleg harus sudah menjadi anggota parpol yang bersangkutan selama empat tahun. Selama periode tersebut, dilakukan perekrutan, pengaderan, dan penyeleksian caleg. Jadi, parpol tak akan keteteran seperti sekarang karena perempuan-perempuan yang dibutuhkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Jika tak di UU, bisa diatur dalam peraturan internal parpol tentang perekrutan dan pengaderan. Dengan begini, setiap orang yang hendak maju sebagai caleg dari parpol yang bersangkutan, mesti jauh-jauh hari bergabung demi memperoleh penanaman nilai ideologi serta pemahaman terhadap target capaian parpol. Begitulah seharusnya parpol berfungsi.

 Tak ambil pusing
Masalahnya, parpol cenderung tak mau ambil pusing. Padahal parpol berfungsi sebagai sarana pendidikan warga negara yang berkeinginan menjadi legislator berkualitas. Melihat gelagat parpol seperti ini, barangkali apa yang diucapkan Mohtar Mas’oed, Dosen UGM Yogyakarta, ada benarnya: “Parpol adalah alat untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tertarik mencapai sesuatu itu”.

Menghasilkan legislator-legislator berkualitas merupakan capaian penting parpol. Ketika upaya tersebut tidak tertarik untuk dicapai, patut dicurigai parpol mulai kehilangan orientasi ideologi yang jelas. Lalu ketidakjelasan ideologi itu menjadi ideologi baru. Pemberdayaan perempuan bukan salah satu cakupan dari ideologi yang kabur tersebut.

Rekrutmen perempuan secara dadakan merupakan fenomena hibernasi politik. Seolah takut kehilangan banyak “energi”, parpol kemudian tidur ketika panasnya pemilu beralih menjadi “musim dingin politik”. Selama itu, parpol tidak berpikir merekrut dan mendidik perempuan secara sungguh-sungguh untuk menjadi calon legislator berkualitas.

Parpol baru terjaga ketika “musim panas politik” saat menjelang pemilu tiba kembali. Mendadak dilakukan perekrutan. Pendidikan politik diberikan secara instan, cukup dengan pelatihan satu atau dua hari saja. Hibernasi politik terus terjadi dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, parpol pun tak ubahnya beruang yang tidur selama musim dingin, lalu mulai ribut cari makan ketika terjaga di musim panas. Padahal, tiada satu pun parpol di Indonesia yang menjadikan beruang sebagai lambang dan ideologinya.

* Bisma Yadhi Putra, Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara. Email: bisma.ypolitik@gmail.com

Perempuan dalam 'Hibernasi Politik' - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment