Sensasi Kekerasan Pilkada

Oleh: Helmy N Hakim -

BILA kita menonton infotainment yang ditayangkan di televisi-televisi nasional, sering kita menyaksikan ulah selebritis yang menimbulkan sensasi. Sebagai contoh, ulah Syahrini dengan kata-kata khasnya seperti “alhamdulillah yah” atau penamaan aksesoris dandanannya semacam “Jambul Khatulistiwa” atau bulu mata anti badai. Seringkali kita merasa terhibur jika itu sensasinya lucu, atau kesal bila sensasinya berlebihan, negatif (publikasi foto-foto seronok) atau bahkan norak. Dalam industri hiburan, sensasi para artis memang diperlukan untuk menjaga popularitas untuk tetap eksis di panggung hiburan atau mendongkrak bagi para artis yang sedang redup.

Sensasi terkadang digunakan untuk menyelamatkan nama baik sang artis yang sedang terkena kasus. Misalnya kita masih ingat bagaimana seorang artis asal Aceh yang terkena kasus video porno menggunakan kemampuannya berakting dengan menangis saat diwawancara wartawan, walaupun bahasa tubuhnya menampakkan kebohongan ketika ia menyangkal tuduhan terhadapnya. Dalam kasus lainnya, Dewi Persik dan Julia Perez mendatangi ulama tertentu dan minta didamaikan walaupun bila kita kaitkan dengan rasionalitas, hal tersebut adalah irrasional. Namun demikian, suka atau tidak suka, sensasi telah memberi warna yang memeriahkan jagad panggung hiburan baik di tingkat nasional maupun internasional.

Sensasi bukan hanya milik dunia selebritis. Panggung politik pun seringkali menyuguhkan sensasi yang membuat rakyat tertawa, sedih, simpati bahkan marah. Kita masih ingat bagaimana Menteri Infokom-entah disadari atau tidak-menyalami Michelle Obama. Hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan citra islami yang dibangun oleh partainya selama ini. Rakyat Aceh pun takkan pernah lupa dengan sensasi tangisan “cut nyak” Megawati di depan khalayak ramai di Aceh dengan janji takkan menumpahkan darah lagi, yang beberapa saat kemudian diingkari lagi dengan melancarkan Darurat Militer (2003).

Berbeda dengan sensasi para artis, sensasi politik memiliki spektrum yang lebih luas. Pada satu waktu boleh jadi rakyat dibuat marah, bingung pada sensasi yang dibuat oleh aktor-aktor politik, di waktu lain aktor-aktor politik dapat membuat rakyat sedih terharu bahkan simpati. Selain memiliki spektrum yang luas, bentuk-bentuk sensasi politik pun banyak sehingga seringkali membius publik, sehingga mengecohkan dan melupakan kenyataan yang ada di depan mata. Pada masa konflik di Aceh sensasi politik cenderung menggunakan media “propaganda”. Pada peristiwa “pendudukan” Idi Rayeuk selama 12 jam. Yang menggambarkan pada pembaca seolah-olah telah terjadi pertempuran besar-besaran dalam upaya pendudukan kota Idi Rayeuk, walaupun tidak seperti yang dibayangkan.

Terkadang sensasi politik muncul dengan wajah yang begitu mengerikan, konspiratif dan seringkali memakan korban. Sejarah dunia mencatat Perang Dunia I diawali oleh peritiswa penembakan Pangeran Austria Frans Ferdinand oleh Gavrilo Princip, seorang anggota kelompok rahasia Black Hand, kelompok pro kemerdekaan Serbia-Bosnia Herzegovina. sebuah peristiwa pada Februari 1933 pembakaran Gedung Reichstag (Parlemen Jerman) yang di rencanakan oleh Göring dan Goebbels atas persetujuan Hitler dalam rangka menghabisi Partai Komunis Jerman. Setelahnya Hitler mengklaim bahwa Komunis yang melakukan pembakaran yang menghancurkan gedung Reichstag di Berlin, Adolf Hitler memanfaatkan insiden tersebut untuk merengkuh wewenang luar biasa di Jerman. Hitler berhasil meyakinkan Presiden Jerman, Paul von Hindenburg, untuk mengumumkan keadaan darurat. Dengan demikian, kebebasan pribadi yang dilindungi oleh konstitusi ditangguhkan.

Sensasi kekerasan pilkada

Menjelang Pilkada, Aceh pun dikejutkan dengan berita pelemparan Granat di Lampriek dua kali berturut-turut 29 November 2011 dan 1 Desember 2011. Granat pertama jatuh tepat di halaman kantor timses kandidat incumbent dan yang kedua tak jauh dari lokasi tersebut dan memakan tiga korban luka-luka. Peristiwa granat ini mengingatkan saya pada pelemparan granat terhadap almarhum Presiden Soekarno yang disebut Peristiwa Cikini yang secara kebetulan juga terjadi pada bulan November tepatnya 30 november 1957. Peristiwa Cikini menimbulkan korban jatuh meninggal dunia sekitar 9 orang dan sekitar 100 orang lainnya luka-luka berat. Berbagai versi sejarah peristiwa ini memunculkan beberapa pelaku yang berbeda dari perwira militer, terindikasi merupakan pertarungan ideologi, bahkan isu separatisme DI/TII karena pelakunya dituding sebagai anggota DI/TII. Namun yang jelas di akhir cerita, granat Cikini berujung pada pembenaran Soekarno untuk mengeksekusi sahabatnya sendiri Karto Suwiryo tanpa protes berarti.

Kasus terakhir adalah kasus penembakan, yang beberapa di antaranya mengorbankan sipil dari etnis tertentu. Apa pun tujuannya, ini adalah sebuah bentuk provokasi yang serius. Mengingat perang dunia ke I yang juga diawali peristiwa penembakan kepada tokoh politik. Perbedaannya hanya hanya pada target korban. Penembakan terhadap etnis tertentu ini bukan tidak mungkin dapat memicu timbulnya isu SARA dan menjadikan Aceh lebih kacau dari sebelumnya. Granat Lampriek tidak sama dengan granat Cikini karena nampaknya sang pelaku tidak serius menargetkan granatnya. Tiada satu pun korban adalah anggota dari tim sukses kandidat yang kantornya tidak jauh dari lokasi. Begitupun kasus penembakan etnis tertentu tidak sama dengan penembakan Frans Ferdinand, pada kasus penembakan, korban bukanlah pelaku politik. namun yang pasti etnis tertentu tersebut diasumsikan berpotensi sebagai konstituen dari kelompok politik tertentu. Peluang adu domba adalah ketika ternyata etnis yang menjadi korban kemudian terjebak untuk melakukan aksi balas dendam. Jikapun skenario ini ternyata tidak berhasil, tidak menutup kemungkinan akan terjadi peristiwa yang sama mengorbankan orang Aceh sendiri.

Dari berbagai fakta, peristiwa ini memenuhi syarat untuk disebut sebagai “bulsi” penimbulan atau penciptaan situasi, yaitu suatu upaya menciptakan suatu kondisi melalui peristiwa-peristiwa besar atau kecil demi suatu tujuan tersembunyi yang akan menguntungkan kelompok politik tertentu, sayangnya disadari atau tidak kedua jenis teror ini dapat menimbulkan efek yang sama yaitu “perang bodoh” akan kembali berkecamuk di Aceh. Mengingat situasi hari ini, siapa pun dapat memaknai dengan jelas bahwa sensasi kekerasan sangat terkait kepentingan politik pilkada.

Kita berharap agar masyarakat tidak terjebak arus propaganda yang bertujuan menakutkan dan mengingatkan kembali masyarakat pada situasi konflik, apalagi membuat kita melemparkan tuduhan ke sembarang pihak. Dalam konteks pilkada, pertarungan politik adalah hal lumrah, selama tidak ada kekerasan baik yang sebenarnya ataupun pura-pura. Pilkada hanyalah satu hari, jangan kemudian menimbulkan dampak negatif yang lebih lama dari pilkada itu sendiri. Saya teramat yakin kepolisian sudah memiliki cukup data untuk mengungkap kasus kekerasan di Aceh. Hanya saja Pemerintah Pusat harus memberi jaminan politik yang signifikan agar Kepolisian lebih mudah melaksanakan tugasnya.

* Penulis adalah pemerhati sosial politik Aceh

Sensasi Kekerasan Pilkada - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment