Berubah, Haruskah Menunggu Momentum?

Oleh Ahmad Arif -

KITA sudah memasuki tahun 2012 dalam penanggalan Masehi. Kita pun sudah memasuki tahun baru Islam, 1433 Hijriah. Tahun baru biasanya selalu diiringi dengan optimisme perubahan menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Tahun baru biasanya ditandai dengan semangat baru, semangat untuk berubah menjadi lebih baik, semangat untuk meraih segala impian karena selalu ada harapan baru.

Tahun baru juga biasanya diawali dengan melakukan refleksi tahun sebelumnya. Tidak ada yang salah, karena memang begitulah seharusnya. Kita selalu punya waktu untuk merenung sejenak, untuk evaluasi. Namun, untuk melakukan evaluasi dan perubahan, haruskah kita menunggu datangnya tahun baru?

Berubah adalah kosa kata kehidupan. Sebab siapa yang tidak berubah tidak akan bisa melanjutkan kehidupan, begitulah faktanya. Siapa yang berhenti bernafas akan mati. Nafas kita hirup dengan gratis, tapi polusi harus dihindari dan dicegah dengan melakukan aksi. Dalam islam tujuan hidup lebih banyak ditekankan pada aspek fungsional, adapun menyembah Nya merupakan tujuan konsekuensial (tuntutan keimanan) yang melekat pada diri setiap kita dalam kondisi apa pun.

Dengan kata lain, tujuan ideal yang ingin dicapai dalam kehidupan seorang muslim disebut cita-cita fungsionalnya, yaitu keadaan di mana kita memiliki fungsi maksimal bagi kehidupan, dalam bentuk apapun. Dengan demikian, kita tidak akan meratapi apappun status kita secara formal. Sebaliknya, kita akan memiliki kebesaran hati atas profesi apapun yang dilakoni dan terus terdorong untuk terus memberi.

Sementara menjadi bermanfaat merupakan aset fungsional setiap kita. Inilah yang dimaksudkan Rasulullah dalam haditsnya, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia lainnya”. Itu juga sebabnya kenapa Al Quran memerintahkan untuk rukuk dan sujud yang diiringi dengan perintah “dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu beruntung” (QS. Al Hajj: 77).

“Dalil akal, nash, naluri dan pengalaman berbagai ummat menunjukkan bahwa bertaqarrub kepada Allah dan berbuat kebajikan serta berderma kepada sesama makhluk adalah penyebab utama yang bisa mendatangkan kebaikan”, demikian Ibnul Qayyim menjelaskan ayat tersebut.

Perubahan vs Momentum
Tidak sedikit di antara kita yang masih melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan dalam berbagai dimensinya dengan beralasan; “nantilah waktu tahun baru saja berubahnya” atau “nanti setelah haji” atau “nanti setelah kaya” dan seterusnya. Kalimat-kalimat seperti itu yang sering digunakan untuk mentoleransi keterlambatan dalam melakukan sebuah kewajiban.

Berubah itu tidak harus menunggu momentum karena lima pertimbangan. Pertama, hanya momentum yang bertemu kesiapan yang melahirkan keberuntungan. Seberapa pun besar kesempatan yang kita dapatkan dan seberapa pun berharga momentum itu, serta seberapa pun keinginan kita mendapatkannya, jika kita tak pernah memiliki kesiapan dan persiapan, maka momentum itu hanya akan berlalu, hilang seperti asap yang tertiup angin.

Kedua, momentum hanya memberi energi gerak. Biasanya, ketika momentum itu datang, kita hanya bersemangat di awal. Setelah itu, keadaan kembali seperti semula; kehilangan semangat dan selera. Di sinilah korelasinya antara momentum dan kesinambungan pembelajaran. Pembelajaran tanpa momentum tidak membuat orang bergerak, sebaliknya momentum tanpa pembelajaran secara konsisten pasti berumur pendek.

Ketiga, kadang momentum itu tidak lebih dari sekadar seremonial. Janji pada diri sendiri atau pada publik untuk melakukan perubahan yang memberikan banyak manfaat acapkali hanya sebatas seremonial.

Lihatlah saat pemilu atau pilkada, harapan melaksanakan perhelatan itu menjadi momentum akan lahirnya pemimpin baru yang lebih baik dan hadirnya perubahan keadaan yang lebih baik pula. Mungkin di sebagian daerah memang ada yang sesuai harapan, tapi umumnya tidak; hasil yang diperoleh berbanding terbalik dengan biaya yang dikeluarkan; bahkan tidak jarang justru melahirkan kerusakan baru.

Keempat, momentum yang dimaknai secara keliru. Seringkali momentum hanya kita maknai dari acara-acara seperti ulang tahun, bulan Ramadhan, peringatan tsunami, berhaji, dan sebagainya. Sementara hentakankan-hentakan keadaan, situai genting dan saat-saat penting di luar itu sering kita anggap hanya sebagai peristiwa biasa. Jika kita hanya mengandalkan momen-momen seremonial tersebut, maka sangat sedikit momentum yang dimiliki.

Kelima, mensinergikan semua dimensi dalam sebuah momentum. Dalam ilmu fisika, kata momentum digunakan sebagai sebuah besaran yang merupakan hasil kali dari massa dan kecepatan gerak sebuah benda. Sedang dalam keseharian kita, momentum diartikan sebagai masa atau waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu.

Jika dua pengertian itu digabungkan, maka momentum memiliki tiga dimensi; waktu, bobot, dan kecepatan. Ketiga dimensi itu jika kita perhatikan sangat berkaitan erat dengan rahasia kesuksesan seseorang atau bangsa dalam mengubah diri, mencapai prestasi, melakukan kerja-kerja besar yang juga memberi manfaat besar. Mari perhatikan cerita sukses Jepang misalnya, Cina, atau India. Juga cerita sukses aneuk nanggroe baik di dalam maupun di luar Aceh.

Agar energi momentum itu tidak sia-sia, maka hal-hal berikut perlu dilakukan. Pertama, lakukan saja dahulu perubahan itu, momentum akan menguatkannya. Menunggu momentum merupakan tindakan yang tidak bijak, karena akan banyak waktu yang terlewatkan percuma.

Kedua, ketekunan menciptakan momentum. Kesuksesan tidak hanya terjadi tetapi harus menjadi sesuatu yang diraih dengan kerja keras dan pencarian. Ketiga, antusiasme menjadikan hidup semua seperti momentum. Lihatlah lebah yang beban fisiknya lebih besar daripada sayapnya, tapi tetap bisa terbang. Keempat, keyakinan bahwa perubahan itu hanya atas izin Nya yang maha kuasa setelah memaksimalkan ikhtiar.

Sebagai penutup, hidup itu ibarat buku tulis yang kosong. Sampul depan adalah tanggal lahir. Sampul belakang merupakan tanggal pulang. Tiap lembarnya adalah hari-hari dalam kehidupan. Ada buku tulis yang tebal, ada pula yang tipis. Tapi hebatnya, seburuk apa pun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman berikutnya yang bersih dan masih baru. Dus, selamat berjuang mengisi lembar demi lembar buku tulis kehidupan 2012.

* Penulis adalah mantan pengurus pusat Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta


Berubah, Haruskah Menunggu Momentum? - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment