Hukum Kepemimpinan

Oleh: Saifuddin Bantasyam


Kepemimpinan menjadi salah satu isu yang mendapat paling banyak sorotan dan atau peminat di Aceh. Dalam berbagai forum atau kesempatan, karakter pemimpin yang cocok memimpin Aceh misalnya, silih berganti diperbincangkan. Hal ini tentu tak terlepas dari akan adanya “kenduri” politik terbesar Aceh yaitu pemilihan kepala daerah (pemilu kada) secara langsung untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Aceh pada November (jadwal sementara) nanti, sekaligus untuk memilih bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota di 17 kabupaten/kota di Aceh.

Berbagai analisa pun muncul. Misalnya soal alasan dibalik rencana penundaan pemilu kada, atau soal rencana penghadangan calon independen untuk masuk dalam Qanun Pemilu Kada, demi kepentingan kelompok tertentu. Juga muncul ragam prediksi tentang tingkat elektabilitas para calon. Dikatakan bahwa elektabilitas si Anu lebih rendah dibanding si Ani. Atau jika pasangan A dan B maju, maka mereka harus bersiap menuai kegagalan. Dan sebaliknya jika C berpasangan D, akan melenggang mulus ke pucuk kekuasaan. Atau jika didukung oleh partai tentu, maka satu pasangan akan menang, sedangkan jika diusung oleh partai lainnya, sehebat apapun kualitas pasangan itu, akan menuai kekalahan.

Diskusi yang juga tak kalah menghebohkan adalah bahwa jika Pemilu Kada ditunda, maka para bakal calon atau calon akan punya lebih banyak kesempatan untuk “berkampanye” dan turba (turun ke bawah) melakukan komunikasi dengan masyarakat, sesuatu yang dianggap berpengaruh positif pada keterpilihan sang calon. Dan pada saat yang sama gubernur nama (mantan) gubernur akan hilang dalam memori publik, karena untuk beberapa bulan, Aceh akan memiliki penjabat gubernur.

Sejauhmana kebenaran asumsi-asumsi diatas, semisal bahwa jika si A berpasangan dengan si B, atau jika didukung oleh partai A akan menang, dan akan kalah jika didukung oleh Partai B? Atau malah benarkah menjadi pemimpin semudah yang dipikirkan oleh sebagian orang? Apa hal-hal yang harus dipikirkan, atau yang harus ada pada seorang pemimpin? Mengapa ada yang sukses, tapi ada juga yang gagal dalam memimpin?

Sangat boleh jadi, tersedia banyak jawaban atas beragam pernyataan di atas. Namun, kepemimpinan ya kepemimpinan, tidak lebih dan tidak kurang. Kepemimpinan ya kepemimpinan, apa pun yang Anda (sebagai pemimpin) perbuat atau kemana pun Anda (sebagai pemimpin) pergi. Bagaimana pengaruh teknologi (yang semakin maju), atau pengaruh kebudayaan (yang demikian kompleks)? Tentu saja penting untuk dipertimbangkan. Namun kepemimpinan itu memiliki prinsip atau hukum-hukumnya sendiri, yang disebut-sebut akan tetap konstan atau abadi, dan karena itu tak dapat disangkal kebenarannya. Sisi menariknya adalah bahwa seseorang, atau kita semua, dapat mempelajari hukum-hukum itu, baik dari literatur maupun dari orang-orang yang dikenal sebagai pemimpin besar sepanjang masa di zaman kini.

Kepercayaan

Mungkin melalui hukum-hukum itulah kita menjadi tahu mengapa misalnya Michael Hart, peneliti Barat, dalam bukunya mengenai 100 tokoh terkenal dan berpengaruh sepanjang masa, menempatkan Nabi Muhammad ada pada urutan pertama, bukannya Isac Newton, Louis Pasteur, Napoleon Bonaparte, Jenderal McAthur, atau Ratu Elizabeth dan sebagainya. Jawabannya antara lain karena pada diri Muhammad itu terdapat seluruh hukum kepemimpinan, yang kini dipelajari di zaman modern. Tak ada seorang pun di dunia yang setelah yang bersangkutan meninggal, ternyata selalu dirindukan, diberi salam, didoakan, diharapkan akan bersamanya di akhirat kelak selain daripada Muhammad. Kita sebagai muslim sampai kini bersetia kepada ajaran dan sunnah Muhammad, menjadikan Muhammad sebagai teladan. Muhammad dikenal sangat efektif, berpengaruh, “nakhoda” andal dalam menentukan arah, suka mendengarkan, mendasarkan kepemimpinannya pada kepercayaan (amanah) dan kejujuran, berkomunikasi dengan cara yang bersahaja, dan juga suka memberdayakan. Semua sifat, ciri atau karakter tersebut, dalam berbagai kajian tentang kepemimpinan, disebut sebagai hukum (-hukum) kepemimpinan.

Tanpa bermaksud menyejajarkan dengan Muhammad, maka sejarah dunia modern juga memperlihatkan bagaimana kuatnya kepemimpinan Mahatma Gandhi. Konon, hal yang paling luar biasa pada diri Gandhi bukannya karena prestasinya menjadi pemimpin di India, melainkan bahwa ia mampu mengubah visi rakyatnya untuk mendapatkan kemerdekaan. Dalam sejarah sejak saat di sekolah dasar, kita membaca bahwa sebelum ia memimpin mereka, mereka menggunakan kekerasan untuk mencapai sasaran atau tujuan. Tapi Gandhi kemudian menantang rakyatnya untuk menghadapi penindasan oleh Inggris dengan cara nonkekerasan, bahkan bertahan tanpa membalas saat ada pembantaian oleh Inggris. India kemudian mencapai kemerdekaan dengan cara Gandhi, cara yang disebut kemudian civil disobediencyberlaku tidak taat atas segala yang diperintahkan oleh penjajah Inggris. (pembangkangan sipil), dengan

Sesungguhnya, menghimbau rakyat untuk mengubah cara berpikir bukanlah perkara mudah. Namun tidak demikian bagi Gandhi. Karena rakyat telah percaya kepadanya, maka rakyat pun merangkul visi Gandhi, dan mengikutinya dengan setia. Ia minta rakyatnya (tanpa paksaan untuk ) jangan melawan, maka rakyat India pun tidak melawan. Jutaan orang ikut saran Gandhi; membakar pakaian produk luar negeri, dan hanya mengenakan produk dalam negeri. India pun menjadi negeri yang merdeka pada tahun 1947, karena perjuangan dibawah kepemimpinan Gandhi.

Dalam konteks Indonesia, bandingkan dengan apa yang dilakukan Mbak Tutut dulu, himbauannya mengumpulkan emas, makan nasi bungkus, untuk mengatasi krisis, tapi himbauan Mbak Tutut itu gagal total. Sebabnya hanya satu: rakyat tak percaya kepada Mbak Tutut. Saya kira ini juga berlaku kepada sejumlah pasangan calon presiden Indonesia, yang kalah dalam pertarungan pada pemilihan presiden dalam pilres 2004 dan 2009, yaitu karena tidak mendapat kepercayaan. Inilah yang disebut oleh Maxwell (2001) bahwa dalam konteks kepemimpinan, kepercayaan adalah salah satu hukumnya.

Maxwell mengilustrasikan dengan cerita, jika ada yang bertanya “apakah orang akan percaya kepada visi saya?” maka dia akan balik bertanya, “apakah orang-orang akan percaya kepada Anda?” Menurut Maxwell, kadang kala banyak orang yang melihat sebaliknya, bahwa jika tujuan pemimpin itu baik, orang otomatis akan percaya dan mengikutinya. Kepemimpinan yang sesungguhnya bukan demikian, dalam arti bahwa orang-orang tak mengikuti tujuannya terlebih dahulu, melainkan mereka mengikuti pemimpin yang dapat dipercaya, yang melontarkan tujuan-tujuan yang layak. Orang akan percaya kepada sang pemimpin terlebih dahulu, baru kepada visi sang pemimpin.

Aceh

Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf mencalonkan diri sebagai pemimpin Aceh untuk pemilu kada pada November nanti. Irwandi, Muhammad Nazar, Darni M Daud, Tarmizi Karim, Muchlis Muchtar, Otto Syamsuddin, dan beberapa nama lain, juga disebut-sebut akan mencalonkan diri untuk menjadi Aceh 1, dan beberapa yang lain dipersiapkan, atau mempersiapkan diri sebagai Aceh 2. Tak kurang pula pada level kabupaten/kota; mulai terdengar banyak nama dimunculkan, bahkan ada yang telah memproklamirkan diri, untuk menjadi pemimpin di daerahnya.

Jika mengikuti hukum kepemimpinan di atas, maka visi seorang pemimpin hanyalah pelengkap, seperti juga partai-partai pendukung, sebab ada syarat-syarat administrasi yang diperlukan oleh calon. Ada pun hal yang paling utama adalah (mendapat) kepercayaan.

Dengan kata lain, para calon harus mampu membuat orang percaya terlebih dahulu kepada kredibilitas dan integritas calon, baru kemudian rakyat akan mengikutinya. Mengutip kembali Maxwell, jika para pengikut tidak suka pemimpin atau visinya, mereka akan cari pemimpin lain. Jika para pengikut tidak suka pemimpin namun suka visinya, mereka tetap akan cari pemimpin lain. Kemudian, jika para pengikut suka kepada pemimpinnya namun tidak suka kepada visinya, mereka akan ubah visinya, dan jika para pengikut suka kepada pemimpinnya dan juga suka kepada visinya, rakyat akan mendukung keduanya. Jika semua yang disebut oleh Maxwell itu kita perlakukan sebagai hipotesa, maka bulan November nanti adalah waktu untuk pengujian hipotesa.Saifuddin Bantasyam | Dosen FH Unsyiah dan Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala.

Tulisan Ini telah di muat Oleh Aceh Institut:
http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=535%3Ahukum-kepemimpinan&catid=73%3Apolitik-hukum-ham-resolusi-konflik&Itemid=124&sms_ss=blogger&at_xt=4ddbe67b664573b2%2C0 

0 komentar:

Post a Comment