Jangan Cuma Damai di Panggung Deklarasi

Oleh Nirwanudin -

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) langsung yang dimulai sejak 2005 lalu, hingga kini telah dilaksanakan oleh lebih dari 250 provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pilkada langsung satu kemajuan besar dalam sistem demokrasi kita, karena sebelumnya kepala daerah selalu dipilih oleh DPRD tanpa melibatkan rakyat daerah secara langsung. Dan, dalam beberapa kasus, kepala daerah kerap dianggap sebagai sosok misteri karena calonnya ditentukan pusat.

Seiring dengan berjalannya waktu ternyata dalam proses pilkada langsung juga tidak jarang menuai banyak masalah. Misanya saja, gonjang ganjing di berbagi daerah yang melaksanakan pilkada terus berlangsung. Di mana-mana terjadi unjuk rasa ketidakpuasan terhadap proses pilkada yang berujung pada tuntutan pembatalan hasil pilkada atau pilkada ulang, seolah proses pilkada berjalan “liar” dan tidak terkontrol.

Banyak kasus menuju ke arah itu. Misalnya, di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat berakhir ricuh. Kasus-kasus itu menunjukan, masyarakat di daerah, termasuk DPRD/DPRA, Panwas, dan KPUD/KIP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan dengan baik, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pilkada baik melalui mekanisme tahapan, panwas, dan pengadilan.

Akibat konflik regulasi
Riak-riak masalah juga terjadi di Aceh, yang hari ini sedang melaksanakan tahapan pilkada provinsi/kabupaten/kota juga telah mengalami penundaan beberapa kali. Ini akibat dari konflik regulasi (pada waktu itu) yang belum tuntas, yang berimbas pada bergesenya tahapan pilkada di Aceh dan penunjukan penjabat (Pj) Gubernur/Bupati/Wali kota yang habis masa jabatannya.

Dalam prosesnya, KIP, LSM, Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, coba menginisiasikan satu panggung perjanjian politik bagi para calon untuk menjawab berbagai persoalan yang telah terjadi pada proses tahapan pilkada, yaitu panggung deklarasi damai.

Di panggung deklarasi damai ini tidak jarang dan bahkan di setiap pilkada di manapun selalu saja dibuat dan atau disediakan panggung untuk mengikrarkan janji dalam semua proses pilkada oleh para kandidat.

Ada satu harapan yang sangat penting sebenarnya dalam proses panggung deklarasi damai ini, adalah bagaimana semua pihak terutama para kandidat untuk tidak melanggar rambu-rambu yang telah disepakati dan ditandatangi bersama itu. Ini agar tidak adanya teror, kekerasan, intimidasi dan gugatan yang dilakukan oleh para kandidat atau tim sukses kandidat terhadap kandidat atau tim sukses kandidat lainnya.

Deklarasi damai ini juga menjadi instrumen penting dalam memulai setiap aktifitas kampanyenya. Karena itu, biasanya para kandidat akan “didaulat” menjadi sutradara dalam pementasan panggung deklarasi damai itu. Setiap kandidat mempunyai kewajiban dalam menyusun skenario agar pilkada ini menjadi pilkada damai.

Siapa pun yang diperankan oleh sutradara (kandidat) untuk melakoni satu tugas dalam rangka memenangkan dirinya untuk menjadi gubernur Aceh haruslah sesuai dengan naskah perjanjian pada saat pelantikan (deklarasi) damai sesuai dengan pementasan awal yang telah dibubuhi tanda tangan yang didalamnya terdapat aturan-aturan sebagai acuan untuk ustradara.

Seorang sutradara dalam menunjuk setiap orang yang akan diperankan haruslah sesuai dengan standar bahwa seseorang yang ditugaskan itu paham betul akan aturan main yang ada. Hal yang paling penting untuk diingatkan oleh sutradara kepada setiap orang yang diperankan untuk melakoni sesuatu yaitu damai dalam setiap bentuk dan tugas apa pun.

Realita saat ini
Kalau sudah demikian, akankah damai hanya ada di panggung tempat deklarasi? Melihat realita saat ini, paling tidak ada tiga jawaban bagi pertanyaaan di atas. Pertama, kalau para kandidat niatnya hanya karena haus akan kekuasaan, di mana senyuman dan tanda tangan di atas panggung deklarasi damai itu tak lebih hanya sebagai syarat dan sandiwara belaka. Maka, bisa jadi bahwa damai hanya dirasakan di tempat deklarasi saja.

Kedua, kalau niatnya untuk mencalonkan diri hanya untuk memperlihatkan kepada orang bahwa dia bisa juga menjadi calon namun tidak jelas orientasinya bahkan cenderung melakukan money politic (politik uang), maka sengketa pilkada akan berujung di meja hijau yang menjurus bahwa damai hanya dirasakan dalam panggung deklarasi saja.

Ketiga, kalau para kandidat mencalonkan diri dengan niat untuk melayani masyakarat, maka damai tidak hanya ada pada panggung deklarasi. Tapi juga akan menghiasi Aceh sampai perhelatan pilkada periode berikutnya. Untuk menjadi pelayan masyarakat, kita tidak mesti menjadi gubernur, bupati atau wali kota. Dengan kedudukan kita hari ini, kita bisa saja menjadi pelayan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan kita.

Agaknya inilah yang perlu direnungkan oleh setiap kandidat, bahwa apa yang terjadi dalam rentang waktu tiga bulan belakangan ini telah mengusik kita. Penembakan hingga merenggut nyawa saudara-saudara kita yang tidak berdosa, pembakaran rumah dan mobil telah menghiasi media massa dan elektronik setiap hari.

Merujuk pada apa yang dikatakan Henri JM Nouwen (2000), selama tangan kita mencengkram dan berbicara dalam bahasa “milikku dan milikku”, kekuasaan yang kecil dengan cepat akan menjadi besar. Kekuasaan seperti itu akan menjerumuskan kita ke dalam kebencian, kekerasan dan bahkan perang. Akan tetapi, kalau kita berani mengosongkan tangan kita dan mengangkatnya untuk memuji Tuhan, maka kita dapat menerima kekuasaan dari Tuhan. Kekuasaan ini akan menjadi berkat bagi diri kita dan bagi masyarakat.

Karena itu, para kandidat perlu merenung sejenak dan berjanji pada diri sendiri dan Tuhannya untuk tidak melukai pilkada damai ini. Kita akan sangat berharap bahwa panggung deklarasi damai ini tidak hanya sekedar seremonial belaka. Semoga!

* Nirwanudin, Sekretaris Umum Badko HMI Aceh periode 2010-2012/Ketua Umum IPPELMAS Banda Aceh periode 2008-2010.
Jangan Cuma Damai di Panggung Deklarasi - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment