Guru Yang Berkualitas

Guru merupakan unsur paling penting dalam dunia pendidikan, dan guru yang berkualitas merupakan penopang utama lahirnya pendidikan yang bermutu. Sehingga menurut Munif Chatib (Sekolahnya Manusia, 2009), aset terbesar dan paling bernilai di sebuah sekolah adalah guru yang berkualitas, yaitu guru yang tidak pernah berhenti belajar.

Hal ini terbukti pada negara Finlandia yang kualitas pendidikannya menempati peringkat pertama di dunia. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes ini dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang sains, matematika dan membaca.

Apa kunci keberhasilan negara Finlandia tersebut? Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dan dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Di mana lulusan terbaik dari sekolah menengah biasanya mendaftar pada Fakultas Pendidikan. Persaingannya pun lebih ketat daripada masuk ke Fakultas Hukum atau Kedokteran.

Bandingkan di negara kita, kualitas guru belum menjadi skala prioritas. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pelatihan guru oleh pemerintah, tapi hasilnya tak begitu menggembirakan. Karena memang pelatihan-pelatihan tersebut masih cendrung pada project oriented. Sementara mahasiswa yang masuk ke FKIP dan Fakultas Tarbiyah tidak melalui kompetensi yang selektif.

Bahkan ada kecenderungan pilihan sebagian besar mahasiswa terhadap kedua fakultas tersebut (FKIP dan Tarbiyah) karena dorongan pragmatis, sebutlah agar cepat memperoleh pekerjaan dan peluang tembus PNS-nya besar. Sehingga berimplikasi pada spektrum berpikir dan bertindak ketika menjadi guru. Dimana kerja mengajar bukan lagi dimaknai sebagai tugas kemanusiaan dan wahana mencerdaskan anak bangsa, tapi semata-mata soal tuntutan pekerjaan.

Hal inilah kiranya yang mendasari perilaku immoral guru dalam memberikan contoh yang destruktif, dan sama sekali tak mendidik kepada siswanya. Seperti yang terjadi pada peristiwa contek massal murid Sekolah Dasar (SD) di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bayangkan, guru yang notabene penyeru kebajikan, melacuri nuraninya untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri.

Ketika seseorang berniat menjadi guru, maka dengan penuh kesadaran ia sudah membuat pilihan untuk memikul tanggung jawab yang besar. Karena menjadi guru, bukan menjadi politisi yang dituntut untuk pandai membangun janji, atau pelawak yang di tuntut untuk pandai membuat audiensnya tertawa terpingkal-pingkal. Menjadi guru, adalah menjadi—“pelita dan oase”— yang menerangi kegelapan berpikir dan memuaskan dahaga keingin-tahuan anak didik.

Manusia Merdeka

Maka tugas seorang guru bukan sekadar melakukan pengajaran dengan setumpuk teori dan doktrin. Tapi juga memberikan pembelajaran yang dapat merangsang kreativitas dan potensi anak didik sesuai dengan kapasitas “alam pikir”-nya. Di sini, guru yang berkualitas adalah guru yang mampu memosisikan anak didiknya sebagai manusia “merdeka” dengan segala potensinya, baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).

Sehingga keberadaan guru dalam kelas bukan sekadar sebagai penceramah dengan segala kuasa monolog-nya, tetapi memosisikan diri—sebagai mediator yang dialogis—guna memicu kreatifitas, menumbuhkan nalar, dan menggali potensi siswa. Makanya Rogers (dalam Palmer, 2003), meniscayakan perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai dengan potensinya, menciptakan hubungan saling percaya dan nyaman, serta membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri.

Untul itu Munif Chatib, Praktisi Multiple Intelligences menawarkan 5 langkah strategi pembelajaran yang baik. Pertama, batasi waktu guru dalam melakukan presentasi (30%), limpahkan waktu terbanyak (70%) untuk aktivitas siswa. Dengan aktivitas tersebut, otomatis siswa akan belajar. Kedua, gunakan modal “modalitas” belajar yang tertinggi, yaitu modalitas kinestetis (segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi, kordinasi, dan hal lain yang terkait) dan visual (citra visual, warna, gambar, catatan, diagram, grafik, peta pikiran, dan hal-hal lain yang terkait) dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan.

Ketiga, mengaitkan materi yang diajarkan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung keselamatan hidup. Keempat, menyampaikan materi kepada siswa dengan melibatkan emosinya. Hindarkan pemberian materi secara hambar dan membosankan. Kelima, melibatkan partisipasi siswa untuk menghasilkan manfaat yang nyata dan dapat langsung dirasakan oleh orang lain. Siswa merasa mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Bersahabat dengan Kritik


Sebagaimana yang dikemukakan oleh Munif Chatib di awal tulisan ini, bahwa guru yang berkualitas adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar. Dan salah satu indikator dari guru pembelajar adalah guru yang bersahabat dan tidak alergi dengan kritik, sekalipun oleh siswanya sendiri. Sehingga oleh Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran, 2005), guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

Di atas itu semua adalah kesadaran moral guru akan luhur dan mulianya tugas mengajar. Sehingga diperlukan komitmen, kompetensi dan kearifan dalam mendidik. Dengan harapan melahirkan generasi bangsa yang manusiawi; yakni generasi yang cerdas, berbudi luhur, dan menjauhkan segala bentuk kekerasan dari laku hidupnya.

Muhamad Hamka
Analis Sosial & Pendidikan berdomisili di Aceh


Sumber: Okezone.com

0 komentar:

Post a Comment