Buku dan Peradaban Bangsa

 Oleh: Ridwan Kharis* -

UNGKIN sedikit orang yang mengetahui bahwa 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Menurut sejarah, tanggal itu dipilih bertepatan dengan didirikannya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Jakarta 31 tahun yang lalu, 17 Mei 1980.

Tidak bisa dimungkiri, buku merupakan sumber informasi dan sumber ilmu pengetahuan. Melalui buku, kepribadian seseorang terbentuk dan melalui buku pula peradaban suatu bangsa terbangun. Ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui seperti apa kepribadian seseorang 10 tahun mendatang, lihatlah teman-temannya saat ini dan buku apa yang ia baca saat ini.

Sejarah menceritakan salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam di masa keemasannya adalah serangan bangsa Mongol yang memporak-porandakan kota Baghdad dengan melenyapkan buku-buku di perpustakaan. Ada yang dibakar, ada pula yang dibuang ke sungai.

Bangsa Jepang yang mencintai buku, menjadikannya sebagai bagian dari membudayakan aktivitas membaca di setiap saat, terbukti menjadi bangsa yang maju peradabannya. Peradaban suatu bangsa tidak akan pernah bisa lepas dengan bagaimana bangsa tersebut mencintai buku.

Budaya mencintai buku di Indonesia masih memprihatinkan. Menjadi hal yang ironis ketika menjamurnya jumlah penerbit buku akhir-akhir ini tidak diiringi dengan minat masyarakat terhadap buku.

Budaya Membaca

Berbicara tentang buku tidak akan pernah lepas dari dua aktivitas yaitu membaca dan menulis. Untuk memahami isi suatu buku mau tidak mau seseorang harus membaca buku. Dengan membaca, wawasan seseorang akan menjadi luas. Jika buku adalah jendela dunia, maka membaca adalah kuncinya.

Masyarakat Jepang sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan membaca buku. Pantas jika Jepang dikenal sebagai bangsa yang gemar membaca. Sementara itu, masyarakat kita lebih menyukai budaya lisan dan visual daripada budaya membaca. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua, terlebih bagi pemerintah melalui kebijakannya agar budaya membaca bisa tertanam bagi masyarakat Indonesia.

Budaya Menulis


Tidak akan pernah ada buku tanpa adanya orang yang menulisnya. Budaya lisan menyebabkan masyarakat kita lebih suka berbicara daripada menulis. Padahal tanpa ditulis, suatu perkataan akan lebih cepat hilang dan dilupakan. Dengan menulis pula, kebermanfaatan kita bisa terus mengalir melebihi usia hidup kita.

Mengapa Kartini lebih dikenal orang daripada Dewi Sartika? Padahal kontribusi Dewi Sartika lebih besar dan lebih nyata bagi masyarakat. Jawabannya adalah karena Kartini menulis. Kita tidak akan mengenal ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Isac Newton, dan Albert Enstein yang telah meninggal berabad-abad lampau jika mereka tidak mentransformasikan ilmunya dalam bahasa tulis.

Seoarang penyair masyhur asal Inggris bernama TS Eliot mengatakan “Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. Melalui tulisan ini, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai buku dengan membudayakan membaca dan menulis sehingga peradaban Indonesia menjadi maju di masa mendatang.

*Ridwan Kharis
Mahasiswa Teknik Mesin UGM

0 komentar:

Post a Comment