Mengikuti Salaf, Ideologi atau Metodologi?


Oleh Ahmad Arif* – 

Di antara berkah pasca tumbangnya rezim Soeharto di akhir abad ke 20 silam adalah munculnya berbagai gerakan keIslaman. Sayangnya, tidak semua gerakan tersebut bersifat konstruktif. Malah ada kecenderungan menguatnya entitas yang membenarkan radikalisme dan anarkisme.

Hal ini bertolak belakang dengan mayoritas muslim negeri ini yang dikenal dengan sikap moderat dan toleran. Akibatnya, bukan kebanggaan yang diperoleh umat Islam di Indonesia, yang ada malah kesengsaraan dan kenistaan. Islam pun kemudian menjadi ‘tersangka’ dan seringkali ‘ditelanjangi’ baik oleh para intelektual muslim diabolis, terlebih lagi pihak-pihak yang memang tidak suka melihat progresifitas Islam dan umatnya.

Kelompok ‘Radikal’
Memakai baju koko berwarna putih, bersorban atau berpeci, memelihara janggut, celana berwarna gelap di atas mata kaki, senantiasa meneriakkan yel-yel ‘Allahu Akbar’, dan wanitanya menggunakan burqa (cadar), merupakan ciri khas kelompok tersebut. Tak jarang, dalam berbagai aksinya mereka membawa senjata tajam, merazia tempat-tempat yang ditengarai sebagai maksiat, menutup paksa perhelatan konser musik atau yang sejenisnya, memutuskan silaturrahim dengan alasan ‘marah karena Allah’. Bahkan ada kecenderungan takfir (mengkafirkan) sesama muslim yang tidak sepemikiran dengan mereka.
Kehadiran mereka yang begitu rupa membuat banyak kalangan terhenyak dan bertanya-tanya, siapa mereka sebenarnya? Kelompok Islam dengan ciri-ciri di atas seringkali disebut kelompok ‘radikal’, ‘militan’, atau bahkan ‘ekstrimis’. Dari sekian sebutan yang dilabelkan terhadap mereka, satu hal yang patut digarisbawahi bahwa mereka memang kelompok ‘garis keras’ yang dalam tujuannya tidak mengenal kata kompromi (no compromise). Namun juga harus diingat bahwa kemunculan mereka dalam kancah politik nasional berkaitan dengan perkembangan pemahaman keIslaman yang disebut salafiyah (salafisme).
Banyak ahli yang berpendapat bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras sekarang ini berkaitan dengan reformulasi pemahaman salafiyah yang mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad dan para sahabat secara totalitas. Gerakan salafiyah yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami metamarfosis pada abad ke-20 menjadi tidak hanya gerakan furifikasi keagamaan semata, tapi menjadi motivasi perlawanan terhadap berbagai paham yang mereka nilai tidak sesuai dengan ruh Islam.

Bukan Mazhab
Dari sekian banyak literatur yang mengupas tentang keberadaan salafiyah di atas, karya Dr. Sa’id Ramadhan al Buthi, as Sasafiyah; marhalah zamaniyah mubarakah la mazhab Islami (Salafiyah; periode historis yang penuh berkah, bukan mazhab Islami) merupakan kajian yang diakui banyak kalangan sangat brilian. Salah satu di antara mereka adalah Fahmi Huwaidi, kolomnis senior pada harian al Ahram Mesir yang beberapa decade silam sempat menjadi jubir kaum sekuler-liberal disana. Tapi, setelah berinterkasi secara pemikiran dan personal dengan al Qaradhawi, Muhammad al Ghazali dan Syaikh al Buthi, pemikirannya kembali kepada Islam wasthy (moderat) yang menjadi mainstreaming mayoritas umat.
Menghormati salaf adalah wajib, tapi menganut mazhab salafiyah adalah bid’ah. Demikian pokok pikiran yang dijelaskan dalam buku itu. Salafiyah sebenarnya tidak memiliki pilar yang lengkap untuk menjadi sebuah mazhab. Akan tetapi, siapa pun tidak dapat mengingkari bahwa di tengah masyarakat Islam terdapat orang-orang yang mengusung panji aliran ini. Kita menghormati mereka, namun penghormatan itu tidak lantas menghalangi kita untuk mendiskusikan pandangan mereka.
Secara terminologis, kata salaf mengacu kepada orang-orang dari tiga abad pertama sejarah Islam yang meliputi generasi para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. “Islam mengajarkan untuk mengikat akal dan tindakan kita dengan ikatan loyalitas kepada salaf, meneladani mereka, setia kepada kaidah-kaidah mereka dalam memahami nash, dan tidak keluar dari prinsip keyakinan dan aturan tingkah laku yang disepakati oleh mereka semua atau oleh sebagian besar mereka” (hal. 11).

Gineologi
Slogan salafiyah pertama-tama muncul di Mesir bersamaan dengan lahirnya gerakan reformasi keagamaan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang dipelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh, lalu dilanjutkan oleh Rasyid Ridha, Abdurrahan al Kawakibi, dan lain-lain. Pada masa itu, dekadensi akut melanda masyarakat ditandai dengan berkembangnya pelbagai bid’ah dan khurafat. Para penyeru reformasi tersebut berupaya memperbaiki dan membangkitkan kembali umat Islam dengan cara mengembalikan mereka kepada kesejatian Islam.
Setiap misi reformasi harus memiliki slogan tertentu yang menjadi manifestasi substansi tujuannya dan mampu menarik perhatian masyarakat, maka slogan yang dipakai oleh tokoh pembaharu itu adalah ‘salafiyah’. Pada masa itu, ‘salafiyah’ berarti seruan untuk membersihkan pelbagai polusi akidah yang mengotori kesejatian Islam. Dalam pengertian itulah slogan ini lahir, diadopsi, dan disebarkan. Ia tidak menunjukkan lahirnya mazhab Islam yang baru. Tapi, sekadar identitas sebuah dakwah dan deskripsi sebuah metode.
Seiring dengan waktu, slogan salafiyah seperti uraian di atas mengalami degradasi. Slogan yang sedianya dimaksudkan untuk merefleksikan ketundukan kepada konsepsi ahlussunnah waljama’ah, berubah menjadi slogan sekelompok orang yang berpegang teguh pada beberapa pendapat, dan menganggap pendapat mereka sebagai pembeda antara yang mendapat petunjuk dengan yang sesat.

Sikap terhadap Salaf
Ketundukan kepada salaf tidak dilakukan dengan cara pemasungan diri pada tekstualitas kata-kata atau pendapat-pendapat parsial yang mereka lontarkan. Karena, mereka tidak melakukan hal tersebut melainkan dengan cara merujuk kepada kaidah dalam menafsirkan dan menakwilkan nash serta landasan ijtihad dan kajian terhadap prinsip moral dan aturan hokum. “Merujuk kaidah dan landasan tersebut adalah kewajiban kaum muslim di setiap masa, baik salaf maupun khalaf (penerus). Ini adalah karakteristik umum dan benang merah yang menyatukan umat kapan dan dimana saja. Salaf tidak memiliki keistimewaan apapun dalam hal ini dibandingkan dengan khalaf, kecuali karena merekalah pionir dalam melihat dan merasakan besarnya kebutuhan terhadap kaidah tersebut, lalu bekerja keras dalam mengkaji dan membukukannya” (al Buthi, hal. 12)
Dengan demikian, adalah salah besar jika kita menjadikan kata salaf menjadi istilah baru yaitu salafiayah, lalu menjadikannya sebutan khusus bagi sekelompok orang yang mengklaim pengertian tertentu darinya, sehingga menjadi sekte Islam baru selain sekte-sekte yang telah ada dengan jumlah sangat banyak dan saling bertentangan. “Jadi, tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan patokan untuk berafiliasi kepada sekte mereka (seandainya mereka –salaf- mempunyai sekte). Fakta menyatakan juga bahwa metode mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah, yang sekarang disebut ushul fiqh, adalah metode semua umat Islam, dan bukan simbol afiliasi kepada kelompok tertentu” (hal. 22).
“Berideologi salafiyah berarti menganggap salaf memiliki mazhab khusus dan menganggap hanya penganut mazhab ini yang merepresentasikan dan memperjuangkan hakikat Islam. Dengan konsepsi seperti ini, Islam menjadi pengekor bagi mazhab dan tokoh salafiyah. Sedangkan mengikuti metodologi salaf berarti menghormati mereka yang telah tunduk kepada Allah dengan ikhlas dan komitmen dengan ajaranNya dengan jujur. Juga berarti mengikuti mereka dalam memahami Islam dan meneladani metode mereka dalam memahami kitab dan sunnah. Jadi, pada hakikatnya, yang menjadi leader tetaplah Islam, dan yang menjadi poros dan asas tetap metode periwayatan dan pemahaman Islam” (hal. 222)
Sebagai penutup, kita tidak meminta saudara-saudara kita tersebut untuk menanggalkan pendapat mereka. Kita hanya mengingatkan mereka untuk tidak menjadikan pendapat mereka sebagai satu-satunya manifestasi agama yang benar dan menganggap pendapat lain sebagai kekafiran, kemusyrikan dan kesesatan. Mereka harus menyadari bahwa dalam masalah ijtihadiyah, kita dapat menganut pendapat apa saja, asal tetap berada di dalam kerangka metode yang disepakati bersama. Wallahu a’lam

*Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumni Fakultas Syariah UIN Jakarta

1 komentar:

Bismillah, silahkan pembaca menyimak artikel berikut: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?catid=15 Semoga bermanfaat dan lebih mengerti makna salaf yang benar sesuai yang Rasulullah ajarkan. Barokalohu fiikum

Post a Comment