Cara Jogja Mengatasi Ahmadiyah

Written by Richo Andi Wibowo | Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM | 
Sekalipun pemberitaan tentang Ahmadiyah tidak sebombastis sebelumnya, namun sesungguhnya aturan pelarangan aktivitas jemaat ahmadiyah terus berlanjut. Sementara itu, Provinsi Jogjakarta justru tenang-tenang saja dan konsisten untuk tidak melarang kegiatan Ahmadiyah. Tulisan ini berupaya memotret mengapa kiranya hal tersebut dapat terjadi serta hal positif apakah yang dapat dipetik oleh daerah lain atas pengalaman Jogja ini.

Dalam konteks berfikir hukum (juridische denken), sebelum menyusun suatu aturan, penyusun peraturan perlu untuk menimbang aneka alasan dari aspek filosofis, sosiologis dan normatif (Ni’matul Huda, 2005). Tampaknya, terhadap tiga hal ini, Pemprov Jogja tidak melihat urgensi mengatur jemaah Ahmadiyah.
Secara filosofis, hukum hanyalah mengatur/melarang tindakan yang sifatnya kejadian konkrit seperti mencuri, membunuh, menipu, dll. Dengan demikian, hukum tidak dapat melarang apa yang di pikirkan atau yang diyakini oleh seseorang.
Padahal, konflik timbul (utamanya) diakibatkan oleh bersebrangannya keyakinan antara jemaah ahmadiyah dengan umat Islam pada umumnya dalam memandang siapakah Nabi yang terakhir. Sehingga, akar permasalahan Ahmadiyah ini terletak pada keyakinan. Suatu objek dimana instrumen hukum bikanlah instrument yang tepat untuk mengatasinya. Dengan demikian, sirnalah landasan filosofis aturan pelarangan aktivitas Ahmadiyah.
Secara sosiologis, masyarakat Jawa secara budaya memang masih meyakini ungkapan “menang tan ngasorakke” (menang tanpa mengalahkan), “nglurug tanpa bala” (menyerbu tanpa pasukan) dan digdoyo tanpo aji (sakti tanpa ajian) (Purnomo, SM, 12/07/2009).
Ungkapan diatas menunjukan bahwa masyarakat Jawa tidaklah tertarik pada kekerasan dan mengutamakan kerukunan. Maka dari itu, umat Islam Jawa juga ‘terbimbing’ untuk rendah hati terhadap kekuatan mayoritas yang dimilikinya, dan tidak akan bersikap sewenang-wenang kepada kelompok lain yang minoritas.
Diyakini, dengan demikian justru akan membuat pihak lawan hormat dan sungkan kepada umat Islam dan sangat mungkin justru tertarik untuk memplaari Islam dengan benar secara persuasif (menang tanpa mengalahkan).
Sesungguhnya, aneka kearifan lokal tersebut sesungguhnya koheren dengan strategi peperangan Sun Tzu dan sunnah Rasululah. Sun Tzu, jenderal perang dari China yang hidup 5 abad sebelum masehi menuliskan filsafat perang yang terkenal dengan nama “The Art of War”. Menurutnya, strategi perang yang paling hebat bukanlah bertempur dan menang, melainkan memenangkan pertempuran tanpa berperang sama sekali.
Rasululah pun tampaknya mencontohkan filosofi serupa. Ketika Rasul bersama kaum muhajirin dan anshar merebut kota Mekkah, maka hal tersebut dapat dilakukan tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun. Bahkan penduduk Mekkah dilakukan dengan hormat, adil dan santun. Suatu hal yang justru membuat mereka simpati dan kemudian secara ikhlas memeluk Islam.
Singkatnya, secara sosiologis masyarakat jawa memiliki cultural guidelines yang santun yang dapat menjadi pedoman umat Islam Jawa untuk tidak melakukan kekerasan kepada kaum minoritas (Ahmadiyah). Hal ini mereka lakukan bukan saja karena mereka memang enggan berkonflik, namun karena menyadari bahwa cara ini adalah cara yang paling efektif.
Secara normatif, dasar hukum guna mengeluarkan peraturan daerah juga tidaklah kuat. Peraturan Gubernur Jawa Baray tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah misalnya menggunakan landasan hukum pasal 13 ayat (1) (c) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal ini pada pokoknya menyatakan bahwa Pemprov berwenang dalam hal penyelenggaraan ketertiban umum dan masyarakat.
Namun, argumentasi tersebut patut untuk diperdebatkan mengingat UU yang sama menyatakan bahwa urusan Pemerintah pusat ada 6, salah satunya adalah Agama. Bahkan, pada penjelasan Pasal 10 ayat 3 (f) UU 32 tahun 2004 tercontohkan bahwa pengakuan terhadap keberadaan suatu agama serta menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan beragama merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sehingga, landasan normatif pemprov Jabar (dan juga daerah lain) patut untuk dipertanyakan.
Berdasarkan elaborasi diatas, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa dengan mencermati aspek filosofis, sosiologis dan normatif (yuridis), tampak logis apabila Jogja tidak mengikuti daerah lain yang mengatur pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Pada sisi lain, dimungkinkan pula kepada daerah lain untuk mempertimbangkan cara Jogja dalam membangun tertib sosial yang –justru- tidak berbasis pada aturan hukum (legal substance), namun pada level yang lebih tinggi yaitu level budaya hukum (legal culture).Richo Andi Wibowo | Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM.
Artikel ini dikutip dari Aceh Institute
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=505:cara-jogja-mengatasi-ahmadiyah&catid=74:paradigma-islam

0 komentar:

Post a Comment