Rekonstruksi Epistimologis

Oleh: Tabrani. ZA- Keimanan terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut.

Dunia pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi sekalian alam). Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para Nabi dan Rasul ’alaihimus shalatu was salam sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh besar pendidikan.
Secara dikotomis, ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik dibagi umumnya kepada ilmu-ilmu umum-sekuler dan agama. Klasifikasi ini, kendati terkesan sekadar penyederhanaan, tapi sebenarnya memiliki dasar argumentasi yang cukup kuat. Sulit dipungkiri bahwa ilmu-ilmu yang berkembang di Barat yang kemudian dikembangkan pula di sekolah-sekolah umum negara-negara dunia ketiga, yang umumnya berpenduduk muslim, bisa dengan worlview dan framework Barat yang notabene sekuler. Bukankah teori Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan kepada Allah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia? Bukankah prime-theory evolusi Darwin merupakan upaya sengaja untuk mengesampingkan kenyataan bahwa manusia terdiri dari akal, tubuh dan jiwa? Mengapa psikologi cuma melihat dimensi yang terlihat (visibel) dari manusia dan melupakan peran hawa nafsu atau syaitan, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci? Pernahkah guru sains kita memberi penyadaran kepada anak didiknya bahwa konsistensi fenomena alam sebagai sunnatullah (aturan dan hukum Allah). Dan bukannya “hukum alam”, istilah yang bila disalahpahami bisa menggiring kepada pengingkaran terhadap peran Tuhan di alam semesta? Mengapa antropologi tidak pernah menyinggung eksistensi para nabi dan rasul, kendati dia adalah fakta yang diakui oleh tiga agama besar dunia? Sederet lagi pertanyaan lain yang menggelitik yang simpul-simpulnya dapat pembaca lihat pada lampiran 1 pada bagian lain dari makalah ini.
Problem epistemologis inilah yang melahirkan wacana islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam kerangka epistemologi alternatif ini, ilmu pengetahuan tidak dibatasi pada hasil rasio dan pengalaman empiris semata. Tapi peran wahyu diikutkan bahkan menempati puncak hierarki ilmu. Timbulnya perilaku menyimpang, sebagai misal, tidak melulu dilihat dari sudut materi dengan kacamata positivistik. Seperti teori tentang adanya subkultur yang menyimpang dari mainstream sosial, atau teori tentang adanya referensi grup lain yang menjadi acuan, atau akibat dari ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Analisa-analisa teoritis yang dikutip di atas sangat materialistik dan menempatkan manusia sebagai makhluk tak berdaya. Seakan manusia tidak memiliki kekuatan untuk berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak hidupnya itu. Di samping itu, menafikan peran syaitan dan hawa nafsu. Kenyataan inilah yang kiranya menjadikan dewasa ini banyak orang agama yang kurang bersemangat belajar umum. Seperti halnya tidak sedikit orang umum yang ogah-ogahan belajar agama. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut. Sebab, telah terjadi semacam keterbelahan epistemologis. Wahyu agama yang “diimani” seakan tak berharga ketika berbicara dalam konteks ilmu pengetahuan umum (sains). Akan tetapi pada sisi yang lain, hal ini juga menjelaskan mengapa cendekiawan muslim dahulu memiliki wawasan keilmuan yang integralistik. Dikotomi-dilematis: dunia-akhirat, subjektif-objektif, iman-ilmu, qalb-rasio, substansi-simbol, dsb, tidak mereka hadapi.
Dalam tataran yang lebih praktis, problem epistemologis ini juga memiliki pengaruh langsung dalam pembelajaran. Filsafat konstruktivisme yang dianut luas dalam pembelajaran modern, misalnya, berangkat dari asumsi relativitas mutlak pengetahuan manusia yang disandarkan pada nilai pragmatisme pengetahuan dan kebenaran. Sebab, yang penting di sini adalah bagaimana suatu konsep dapat berlaku atau dapat digunakan.
Sebagai dampaknya, tidak ada otoritas mutlak yang pasti benar. Walaupun itu berasal dari wahyu yang benar atau didasarkan pada fitrah yang suci. Sikap skeptis berlaku mutlak dalam seluruh proses pembelajaran model konstruktivisme. Dalam Islam, pragmatisme ilmu semata tidak dapat diterima. Menurut Islam, norma-norma agama, berupa syariat, tetap harus dikedepankan. Kesimpulannya, filsafat pendidikan, terutama pada segi-segi yang telah tertentu, menabrak beberapa konsep baku dalam Islam.
Kondisi riil di lapangan lebih memprihatinkan lagi. Alih-alih mengintegrasikan nilai dan ajaran Islam terhadap ilmu-ilmu umum, yang terjadi justru marginalisasi pelajaran agama. Bukan rahasia lagi bila pelajaran-pelajaran agama kerap dipandang hanya sebagai pelengkap belaka. Pelajaran agama tidak diposisikan untuk menjiwai pelajaran-pelajaran lain.
Dalam kerangka rekonstruksi epistemologi ini, tenaga-tenaga pendidik bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Sebab bila tidak, mereka turut memiliki saham dalam melahirkan generasi-generasi bangsa masa depan yang menderita dis-orientasi dalam kehidupannya. Karena dengan hanya berbekalkan ilmu-ilmu Barat sebagaimana digambarkan, pemahaman tentang realitas dan kebenaran tidak akan pernah sempurna dan tuntas. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan jumlah penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Bila aspek ini tidak segera dibenahi, maka di masa yang akan datang, tidak mustahil nilai religiusitas yang menjadi ciri Kebangsaan itu hanya tinggal kenangan. Dalam hal ini bukan berarti kita harus melupakan kalau kita sekarang berada pada zaman modern yang penuh dengan kemajuan IPTEK, yaitu bukan hanya bagaimana membuat manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya, tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan eksistensinya di dunia ini. Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Karena Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam.
Dana dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, formal maupun non formal, negeri maupun swasta, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani yang bernafaskan Islam. Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Refleksi pemikiran dan rumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Dan diharapkan Pendidikan yang dikelola oleh lembaga-lembaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Jangan hanya mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu, sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.
Dari pemaparan di atas, beberapa metode yang merupakan implementasi nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat direkomendasikan adalah, antara lain:
1.         Tumbuhkan semangat serta keterikatan emosi peserta didik dengan agama dan umatnya lewat pendidikan sejarah Islam dan biografi tokoh-tokoh dan pahlawan muslim. Tapi bukan mengajarkan perang kepada peserta didik. Maksudnya berupaya untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan, demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Bukan hanya mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu, sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.
2.         Tumbuhkan semangat dan militansi juang peserta didik dengan membekali mereka dengan pemahaman terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi umat, tapi bukan semangat terorisme.
3.         Luruskan pemahaman peserta didik tentang konsep ibadah yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan sepanjang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
4.         Biasakan peserta didik dengan akhlak dan adab-adab islami, baik itu dengan pengajaran langsung maupun lewat teladan dari guru.
5.         Tanamkan nilai-nilai luhur, kecendekiawanan dan etos kerja yang islami sejak dini kepada peserta didik
6.         Kembangkan model-model pembelajaran yang holistik dan menyeluruh dengan memanfaatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam Islam.

Tulisan Ini telah dipublikasikan oleh Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment