Memperkuat Dakwah Kampus

Akhir-akhir ini Universitas Syiah Kuala dibuat geger oleh munculnya gerakan Mukmin Mubaligh. Gerakan ini dianggap sesat karena mengajarkan salat cukup 1 kali sehari. Aliran yang bergerak di kampus ini ternyata punya syahwat politik juga, yaitu ingin menguasai Indonesia di tahun 2024. Harian Aceh (10/3/2011) mencatat jumlah pengikut Mukmin mubaligh di Unsyiah sudah mencapai puluhan orang. Mahasiswa FKIP yang sudah berhasil didakwahi ada 21 orang, Fakultas Teknik 9 orang, Fakultas Ekonomi 3 orang, selanjutnya dari Politeknik ada 5 orang, dan 2 mahasiswa lagi berasal dari IAIN Ar-Raniry.

Bila fakta di atas benar, ini menunjukkan betapa mudahnya akidah generasi (intelektual) muda Aceh dibobol. Padahal di setiap jenjang pendidikan kita, dari SD sampai SMA, ada pendidikan agama Islam. Bahkan ketika masuk universitas pun, mahasiswa baru diwajibkan mengikuti program PBHA (Pemberantasan Buta Huruf Al Quran) dan mentoring agama yang dilaksanakan oleh UP3AI Unsyiah selama satu tahun. Tidak hanya itu, setiap mahasiswa Unsyiah juga wajib mengambil Mata Kuliah Umum (MKU) Agama selama satu semester. Di Universitas Syiah Kuala juga ada kegiatan dakwah yang dimotori oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di tiap fakultas, di sana juga ada HMI yang lahir lebih duluan. Pertanyaannya sekarang, apakah mereka gagal?

Rekonstruksi Pendidikan Agama

Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Silakan tanya pada siswa-siswi sekolahan, mata pelajaran apa yang membosankan. Kemungkinan besar salah satu jawabannya adalah agama. Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah umum terasa kering sekali. Penuh hafalan ayat-ayat Quran dan Hadits, menghafal rukun dan syarat-syarat ibadah, menghafal definisi terminologi, kemudian guru melakukan pendekatan (approach) halal-haram dalam pembelajaran. Sehingga agama terasa sesak dengan aturan baku. Bila melakukan A, masuk neraka. Melakukan B, masuk surga.

Harusnya pendidikan agama adalah pendidikan karakter. Masuki dulu fase Mekah sebelum fase Madinah. Sebelum memasuki wacana halal-haram, lebih baik dikuatkan dulu penanaman akidah siswa. Bukan dengan cara menghafal isi buku, melainkan siswa dididik untuk melakukan tafakkur alam. Bukankah banyak sekali ayat-ayat Makkiah yang menjabarkan fenomena alam seiring dengan penjelasan tauhid? Jadi, siswa-siswi kita harus kuat terlebih dahulu dalam hal makrifatullah. Kemudian barulah mereka masuk ke bab makrifaturrasul

Generasi muda sekarang mengenal Rasul secara dangkal sekali. Muhammad adalah seorang Nabi yang menikah dengan janda tua yang namanya Khadijah. Terus ada kejadian isra mikraj, ada perang, dan ada poligami. Kalau pun mereka mengaku mencintai Rasul, itu bukanlah “cinta yang menggelora dari dasar hati” melainkan pengakuan cinta sebatas mulut sebagai hasil dari indoktrinisasi pendidikan.

Tidak kenal maka tak sayang. Maka cara paling gampang membuat generasi muda mengenal Rasul adalah mewajibkan mereka membaca buku-buku Sirah Nabawiyah. Ini bukanlah hal yang sukar. Anak SMA sekarang bisa khatam tetralogi Laskar Pelangi, Tetralogi novel Twilight (yang isinya percintaan antara manusia dan drakula), bahkan tujuh buku Harry Potter yang tebal pun sanggup mereka lahap. Bagaimana mungkin membaca Sirah Nabawiyah Muhammad saja mereka tak sanggup. Jadi, bila siswa-siswi SMA di Rusia diwajibkan membaca War and Peace-nya Leo Tolstoy yang berjumlah lebih dari 1000 halaman itu. Maka siswa-siswi SMA di Aceh diwajibkan membaca Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husein Haikal.

Langkah selanjutnya adalah Makrifatul Islam (mengenal Islam), siswa-siswi sebaiknya diajarkan Islam langsung dari sumbernya; Al Quran dan Sunnah. Ada baiknya mereka mengenal mengapa Quran itu 100 persen asli sedangkan hadits ada yang dhaif dan yang shahih. Jelaskan apa yang membuat derajat hadits riwayat imam Bukhari lebih tinggi dari pada imam Ibn Majah. Terangkan pula pada siswa bahwa Islam itu satu, tapi ada beragam tafsir yang kemudian mengkristal menjadi pelbagai mazhab. Ajarkan mereka ilmu ulumul Quran, ulumul hadits, dan ilmu ushul fiqh. Bahkan kalau bisa masukkan pelajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah umum. Sehingga kelak mereka bisa berpikir kritis bila ada orang yang mengajarkan salat cuma wajib 1 kali sehari atau ada Nabi lagi setelah Muhammad SAW. Karena pendangkalan aqidah hanya bisa terjadi pada muslim yang tsaqafah keislamannya juga dangkal.

Rekonstruksi Dakwah Kampu

Sekarang mari kita mengevaluasi dakwah kampus. Penulis menyarankan yang mengisi mentoring agama di UP3AI jangan lagi mahasiswa-mahasiswa senior. Melainkan dosen-dosen dari IAIN Ar-Raniry. Sudah saatnya para doktor dan master agama di IAIN untuk turun gunung dan membagi ilmunya pada mahasiswa Unsyiah. Kelemahan para mentor UP3AI selama ini adalah mereka tidak mendalami disiplin ilmu keislaman secara menyeluruh. Mereka tak menguasai bahasa Arab, ushul fiqh, ulumul Quran, ulumul hadits, dan ilmu tafsir. Pengetahuan agama didapatkan hanya sebatas dari buku, ceramah, dan kajian-kajian keagamaan (halaqah).

Bila yang mengajar mentoring agama adalah para dosen dari fakultas Ushuluddin atau Syariah, diharapkan pemahaman keislaman mahasiswa Unsyiah bisa lebih mendalam. Ada baiknya diperkenalkan kepada mereka seluruh khazanah Islam klasik yang selama ini tak pernah diajarkan. Agama tidak hanya dilihat dari paradigma satu jamaah, melainkan dari pelbagai mazhab pemikiran Islam. Sehingga kekayaan khazanah intelektual umat Islam betul-betul terwariskan.

Coba perhatikan peta politik kampus, dengan mudah kita dapatkan mahasiswa kita terpecah. HMI tidak akur dengan LDK (sering disebut anak mushalla), demikian juga sebaliknya. Bahkan dua organisasi Islam ini sering kali bergesekan satu sama lain karena urusan politik kampus, yaitu memperebutkan kursi HMJ (himpunan mahasiswa jurusan), BEM, dan PEMA. Energi kader bangsa terbuang cuma-cuma karena urusan sepele (tapi dianggap begitu besar).

Wacana keilmuan Islam telah kosong di atmosfir universitas-universitas kita. Coba tanya pada aktivis muslim bagaimana konsep pendidikan Islam, psikologi Islam, ekonomi Islam, hukum politik Islam, dsb (dengan catatan bila kita setuju akan islamisasi pengetahuan), maka segera kita temukan kegagapan mereka dalam wacana pemikiran Islam. Belum lagi jika ditanya apakah mereka punya konsep sendiri (original) tentang ekonomi, pendidikan, sains, teknologi terapan, filsafat, dst. Padahal mereka sendiri belajar di fakultas KIP, ekonomi, hukum, dan psikologi.

Jadi memang ada ketidaksesuaian (unrelated) antara cita-cita (misal: Islam sebagai ustaziatul alam/soko guru dunia) dengan aktivitas gerakan dan individu mereka sendiri. Bagaimana mungkin mengatakan Islam is the solution bila aktivis Islamnya sendiri tak menguasai konsep? Sehingga slogan “Islam adalah solusi” menjadi orasi yang hilang daya magnetnya.

Karena kelemahan kita adalah ilmu. Maka sudah saatnya kedua organisasi itu bersinergi untuk  membangun pusat studi ilmu-ilmu keislaman kemudian digandengkan dengan ilmu non-agama yang menjadi spesialisasi mereka. Bila wacana keilmuan Islam kita kuat, maka wacana aliran sempalan seperti Mukmin Mubaligh pasti tak laku di Universitas Syiah Kuala.

*Penulis adalah pegiat Kelompok Studi Darussalam (KSD), alumni IELSP Ohio University USA. Sekarang berdomisili di Tungkob, Aceh Besar.


0 komentar:

Post a Comment