Para Penikmat Demokrasi

Oleh: Bisma Yadhi Putra -

NILAI-NILAI humanis yang diiringi dengan hak untuk bebas menyuarakan pendapat serta terbuka lebarnya ruang partisipasi publik dalam politik telah menjadikan demokrasi begitu mudahnya menjalar dan diterima di berbagai belahan dunia. Bangsa-bangsa yang sudah muak hidup di bawah tekanan kediktatoran penguasa, akan berusaha meruntuhkannya dan menjadikan demokrasi sebagai jalan keluar atau cita-cita. Demokrasi dianggap akan melahirkan berbagai kenikmatan.   

Selain banyak yang bisa dinikmati, banyak pula yang menjadi penikmat demokrasi. Bahkan mereka yang secara terang-terangan mengaku tidak setuju dengan ide-ide dalam demokrasi --misalnya karena alasan demokrasi adalah produk pemikiran Barat dan akan menggusur nilai-nilai tradisional setempat-- justru, baik secara sadar maupun tidak, juga menjadi para penikmat demokrasi. Dengan adanya kebebasan pers, misalnya, para penentang demokrasi bisa mengakses informasi publik secara bebas dan luas, dan banyak hal lain yang bisa dinikmati dari demokrasi.

Di negara demokrasi, dengan mengatasnamakan demokrasi, orang-orang bebas berpartisipasi dalam politik. Mereka mendirikan partai politik sebagai saluran untuk mewujudkan kepentingan politiknya. Di pesta demokrasi, para politisi mengumbar berbagai janji dan platform program kerjanya kepada publik dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati atau dukungan. Atas nama demokrasi, para politisi, dengan menggiring kepentingan-kepentingan partainya, melakukan penjarahan di lembaga-lembaga negara. Mereka sangat menikmati demokrasi.

Di negara demokrasi, mahasiswa mengklaim bahwa mereka mempunyai hak dan kebebasan untuk berdemonstrasi. Siapa pun berhak menyuarakan aspirasi tanpa harus takut tidak akan pulang ke rumah lagi, seperti yang sering terjadi di era Orde Baru. Pers bebas meliput dan memberitakan apa yang layak dan harus diinformasikan kepada publik, tanpa harus takut dibredel pemerintah. Karena mengekang kebebasan pers ‘haram’ hukumnya dalam demokrasi.

Namun demokrasi bukan hanya milik politisi, mahasiswa dan pers. Demokrasi adalah milik semua orang. Masalahnya, apakah demokrasi sudah dinikmati banyak orang? Secara prosedural, barangkali sudah. Saat Pemilu, masyarakat diberikan hak untuk menentukan dan memilih pemimpin yang diidamkannya. Tak hanya hak memilih, tapi juga punya hak untuk dipilih. Semua orang yang sudah memenuhi persyaratan, memiliki hak tersebut.

Namun hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu atau Pilkada hanyalah kenikmatan kecil dari demokrasi. Ada lebih banyak kenikmatan lainnya di dalam demokrasi. Tetapi karena sangat sedikit memperoleh pendidikan politik, khususnya pengetahuan tentang demokrasi, banyak masyarakat menganggap yang paling penting dari demokrasi hanyalah kebebasan dan memilih pemimpin saat Pemilu atau Pilkada. Padahal seringkali setelah pesta demokrasi selesai dilangsungkan, masyarakat hidup terbengkalai di tengah berbagai himpitan permasalahan hidup yang memprihatinkan. Mereka hanya menjadi penikmat sesaat.

Secara substansial, demokrasi belum bisa dinikmati banyak orang. Apa yang terkandung dalam substansi dari demokrasi, seperti kesejahteraan atau keadilan, hanya segelintir orang saja yang jadi penikmatnya. Substansi demokrasi inilah yang seharusnya bisa dinikmati banyak orang. Ketika ini bisa diwujudkan, tentu tidak ada orang yang harus meninggalkan anaknya di rumah sakit sebagai sandera karena tidak mampu membayar biaya pengobatan, tidak ada anak-anak yang kekurangan gizi, tidak ada anak-anak yang putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, nasib para buruh sejahtera, dan sebagainya.

 Praktik kotor
Di Indonesia, banyak elite-elite politik yang maju dalam Pemilu atau Pilkada dengan yakinnya mengaku sebagai seorang demokrat. Namun faktanya, jangankan berkomitmen untuk menebarkan benih-benih substansi dari demokrasi, justru malah membajak demokrasi dengan melakukan berbagai praktik kotor di dalam lembaga negara. Jeffrey Winters pernah mengatakan kalau demokrasi Indonesia adalah demokrasi para maling. Jadi yang paling menikmati demokrasi di Indonesia adalah para maling. Maling yang pernah mengaku sebagai seorang demokrat sejati.

Tentu tidak bijak untuk menyalahkan demokrasi -sebagaimana pula sangat tidak bijak menyalahkan komunisme atau ideologi-ideologi lainnya. Kalau kondisi demokrasi sangat amburadul seperti saat ini, itu tidak terlepas dari pihak-pihak yang hanya menjadikan demokrasi sebagai penutup wajah untuk melancarkan aksi kejahatan. Demokrasi dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendapatkan kenikmatan.

Masalahnya, kenikmatan yang dinikmati segelintir pembajak demokrasi itu malah menghisap kenikmatan yang seharusnya dinikmati orang banyak. Jadi, penikmat demokrasi tidak semata-mata hanya orang-orang yang berkomitmen menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melainkan juga oleh mereka yang disebut the hijackers of democracy.

Agar demokrasi bisa dinikmati banyak atau semua orang, tidak cukup dengan mengumbar “keindahan” yang ada di dalamnya. Ia butuh pengejawantahan. Butuh komitmen tinggi atau keinginan yang kuat dari berbagai pihak untuk menebarkan benih-benih demokratisasi yang bisa dinikmati tak hanya oleh sebagian orang saja, tetapi juga oleh banyak orang.

Kesejahteraan yang belum terwujud, membuat rakyat hanya menikmati demokrasi dari segi kebebasan semata. Sementara nilai-nilai substansi demokrasi sama sekali tidak bisa dinikmati. Padahal jika demokrasi tidak dimanfaat oleh para pembajak untuk sekedar mencari kenikmatan dan mencelakakan orang lain, maka kebebasan (demokrasi preosedural) dan kemakmuran (demokrasi substansial) bisa dinikmati secara bersama, tidak hanya salah satunya.

Sudah saatnya, pemerintahan yang mengaku demokratis melahirkan kebijakan yang berkualitas dengan sasaran utamanya adalah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan berbagai nilai-nilai kemaslahatan lainnya. Jadi negara tidak hanya memberi kebebasan semata bagi rakyat, namun juga nilai-nilai luhur dari demokrasi.

Untuk mewujudkan itu, salah satunya adalah dengan tidak membiarkan para pembajak demokrasi punya kesempatan atau peluang untuk menghisap kenikmatan-kenikmatan yang seharusnya bisa dinikmati banyak orang.  

Dan yang harus diingat, para pembajak demokrasi juga banyak yang berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan akan menyengsarakan rakyat. Mereka bisa masuk melalui Pemilu atau Pilkada. Jadi berhati-hatilah saat memilih dalam pemilihan umum, bisa saja maling yang terpilih. Kalau sudah demikian, jangan harap kenikmatan dari substansi demokrasi akan bisa dinikmati banyak orang. Rakyat akan lebih banyak gigit jari.

* Bisma Yadhi Putra, Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara, Angkatan II (2012).
Para Penikmat Demokrasi - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment