Mahar ala Adat Versus ala Islam

Oleh:  Sarah Larasati Mantovani | Peminat masalah Hukum Adat dan Mahasiswi Hukum Jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Pamulang-Banten | jilbabkujiwaku@yahoo.com |

Sekitar seminggu yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan kawan Aceh saya via FB tentang mahar adat Aceh. Menurut penuturan kawan saya, Pria Aceh sangat menghargai wanita, saking menghargainya maka mahar perkawinan Aceh ditentukan oleh Mayam. Mayam adalah sejenis ukuran/timbangan untuk mengukur volume emas di Aceh. Mahar yang sudah ditentukan pun harganya bisa (sangat) mahal. 1 mayam=3 gram, atau 10 mayam bisa mencapai 10 juta (atau tergantung berapa harga emas sekarang). Karena mahalnya mahar tersebut, makanya ada slogan yang terkenal di sana, kalau “Jodoh di tangan WH/Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’at)”, sebab kalau Pria dan Wanita yang tertangkap basah sedang berbuat mesum di sana langsung di nikahkan dan maharnya tak semahal menikah yang direncanakan, paling hanya 2 mayam.

Tiba-tiba saja, saya jadi teringat dengan sebuah tulisan yang pernah saya baca tentang mahar adat Flores di koran KOMPAS (saya lupa tanggal berapa). Sama halnya dengan Aceh, mahar berupa gading gajah tersebut sangat mahal harganya, tak tanggung-tanggung harganya sekitar 10-15 juta, malah ada yang mencapai hingga ratusan juta untuk 1 gading gajah yang panjang. Gading gajah tersebut menjadi mahal disebabkan karena kelangkaannya (mungkin gading gajah tersebut juga bisa disebut sebagai fosil). Toko-toko yang menjual gading gajah di Flores pun juga tak banyak. Makanya, bagi Pria Flores yang ingin menikah tapi tak bisa membeli gading gajah secara lunas bisa membayarnya dengan cara mencicil atau jika tak bisa membayar gading gajah sampai lunas saudara perempuan dari si calon Pria dipekerjakan oleh keluarga si calon wanita apabila sudah menikah nanti dan biaya mahar gading gajah yang tak lunas tersebut bisa di bebankan pada anak-cucunya si Pria Flores yang menikah tadi.
Lain halnya dengan Padang, dalam adat Padang (terutama Padang Pariaman) ada yang namanya uang hilang (atau uang bajapuik). Biasanya yang memberikan uang hilang ini adalah si calon istri dan keluarganya, uang ini juga merupakan beban yang harus ditanggung oleh orang tua pihak perempuan. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik seiring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis -- siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya -- asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. (lihat tulisan Candra, Uang Jemputan dalam Adat Pariaman, November 2009, http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/uang-jemputan-dalam-adat-pariaman/)
Baik mahar Emas di Aceh, mahar gading gajah di Flores ataupun uang hilang di Padang tadi, tapi yang jelas di dalam Syari’at Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar, namun ia mendorong agar memperingan mahar dan tidak terlalu tinggi demi mempermudah urusan pernikahan, sehingga generasi muda-seperti kita-kita tidak merasa berat untuk melaksanakan pernikahan karena mahar yang mahal.
Berikut ini ada hadits yang menggambarkan bahwa cukup dengan hafalan al-Qur’an saja seorang sahabat Rasulullah saw. sudah bisa menikah:
Dari Sahl bin Sa’id radhiyallahu’anhu ia berkata, “Ketika kami berada di tengah-tengah para sahabat di dekat Radulullah saw. Tiba-tiba ada seorang perempuan berdiri, lalu menyatakan ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (seorang perempuan) menghibahkan diri kepadamu, maka bagaimana pendapatmu tentangnya.’ Kemudian bangun (lagi) kedua kalinya, lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia benar-benar menghibahkan diri kepadamu maka lihatlah bagaimana pendapatmu.’ Kemudian bangunglah ia untuk ketiga kalinya, lantas berujar, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia telah menghibahkan diri kepadamu maka perhatikanlah ia bagaimana pendapatmu.’ Maka bangunlah seorang sahabat, lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya. Kemudian Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai barang sebagai mahar?’, jawabnya, ‘Belum’. Maka, sabda Beliau, ‘Pergilah mencari walaupun sekedar cincin yang terbuat dari besi’. Maka dia pergi mencarinya. Kemudian datang, lalu berkata (kepada Beliau), ‘Aku tidak mendapatkan apa-apa, walaupun sekedar cincin dari besi,’ sabda Beliau selanjutnya, ‘Apakah engkau punya hafalan al-Qur’an?’, dia menjawab, ‘Saya hafal surah ini dan surah ini,’ Sabda Beliau (lagi), ‘Pergilah, sungguh saya telah nikahkan kamu dengannya, dengan mahar hafalan Qur’anmu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari, IX: 205 no: 5149 dan ini lafazh bagi Imam Bukhari , Muslim II: 1040 no: 1425, ‘Aunul Ma’bud VI: 143 no: 2097, Tirmidzi II: 290 no: 1121, Ibnu Majah I: 608 no: 1889 secara ringkas dan Nasa’i VI: 123). (‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz: Ensiklopedi Fiqh Islam dalam al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah, Pustaka as-Sunnah, Jakarta, 2008, hlm. 547).
Terlepas dari wajib atau tidaknya mahar ala adat tersebut tapi alangkah baiknya jika kita sungguh-sungguh memperhatikan hadits diatas. Bahwa jangan sampai mahar ala adat yang telah ditetapkan menghalangi niat suci kita untuk menikah. Lagi pula, besar atau mahalnya mahar ala adat tidak menentukan pernikahan seseorang samara atau tidak. Yang penting adalah kita sudah siap lahir batin untuk menaiki bahtera rumah tangga dan mengarungi lautan kehidupan baru didalamnya.
Kalau muda-mudi yang akan menikah keberatan dengan mahar yang sudah ditentukan oleh adatnya, lebih baik pilih saja mahar ala Islam. Mahar ala Islam lebih mudah, ringan dan tidak menetapkan ukuran tertentu untuk menikah. Sebab, Islam memang diciptakan sebagai agama yang mudah. Sarah Larasati Mantovani | Peminat masalah Hukum Adat dan Mahasiswi Hukum Jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Pamulang-Banten | jilbabkujiwaku@yahoo.com
Tulisan ini dikutip dari Aceh Institute. URL: http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=499:mahar-ala-adat-versus-ala-islam&catid=74:paradigma-islam

2 komentar:

sebaik-baik wanita adalah yg paling sedikit maharnya...

sebaik-baiknya pria adalah yang mahar nya banyak walau dipinta sedikit.

Post a Comment