Guru Kreatif

Oleh Yuli Rahmad -

MERUJUK pada catatan Wikipedia, pengertian guru secara umum merupakan kalangan pengajar studi formal tertentu yang perannya juga sebagai pendidik untuk menelurkan generasi-generasi yang intelektual dan teruji. Di luar itu, pengertiannya sangat beragam. Paling kecil, penyambung informasi juga bisa disebut guru karena menyampaikan hal baru.

Membicarakan profesionalisme para guru yang sifatnya terikat kontrak profesi dengan pemerintah merupakan hal yang urgen. Pasalnya, pertarungan intelektual di berbagai medium sudah tak tertahan lagi. Sementara bila kita berkaca, ada banyak kecolongan-kecolongan dunia pendidikan yang harusnya ditambal segera. Sungguh tak adil jika hari ini semua kegagalan produktifitas pendidikan dialamatkan pada sosok guru.

Kita semua tahu, produktifitas dan kualitas dunia pendidikan ditentukan oleh keikutsertaan semua elemen secara massif dan optimal. Keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, pemerintah, bahkan kalangan swasta pun harus berupaya menuangkan kepeduliannya terhadap pendidikan generasi muda. Namun guru yang profesional tetap memiliki peran yang lebih besar dalam upaya mengubah paradigma pendidikan yang kompetitif. Lantas, apa pengertian guru profesional dalam pembaharuan dunia pendidikan secara proporsional?

Dalam kacamata penulis, guru yang profesional itu merupakan pengajar sekaligus pendidik yang mampu memfasilitasi anak didiknya menembus berbagai kompetisi. Sungguh sangatlah sederhana. Namun kesederhanaan pengertian ini belum tentu diterima oleh banyak pihak. Karenanya, ayo kita lihat kalkulasi peran dan hasilnya secara terperinci.

Lumrahnya, para pelajar yang mampu mengikuti berbagai kompetisi apalagi hingga level internasional lebih tangkas dalam banyak hal. Layaknya sebagai anak-anak dan remaja, budaya-budaya intelektual dengan berbagai latar belakang akan kembali ditransferkan ke sejumlah kawan-kawannya di sekolah. Satu pemicu baru agar rekan-rekannya juga dituntut mampu berpartisipasi dalam kompetisi lainnya.

Bersaing secara sehat
Memang tak mudah, namun jika ini bisa dilakukan secara massal, maka akan tercipta kondisi di mana para pelajar bersaing secara sehat untuk menghasilkan karya nyata. Apakah itu lewat kepenulisan sastra, ilmiah, debat, otomotif dan IT di dunia sekolah kejuruan, olahraga, serta banyak sektor karya lainnya. Tidak saja secara keilmuan, mereka juga lebih mahir dalam bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan baru. Dengan iklim persaingan yang sehat, sejalan dengan itu pula akan terbangun pondasi moralitas yang baik.

Lalu, bandingkan saja dengan para siswa yang tak pernah ikut kompetisi. Yang mereka tahu hanya selesaikan soal, menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), dapat rapor dan naik kelas. Sayang sekali jika keinginannya hanya sekedar menyelesaikan pendidikan, bukan berkarya. Secara moral dan sosial, hanya satu lingkungan yang mereka pelajari. Lumrahnya mereka sulit berkembang karena tidak biasa menerima hal-hal baru yang secara logika berfikir berada di luar kepala.

Simpulannya, di sanalah pengertian guru profesional yang penulis maksud. Adalah mereka yang mampu mengorbit anak didiknya untuk bertarung di berbagai medium. Adalah mereka yang mampu menelurkan generasi penuh karya. Adalah mereka yang mampu menciptakan generasi yang berfikir global namun tetap lokal. Adalah mereka yang mampu mengelola anak didiknya menjadi generasi-generasi yang menerima minoritas sebagai bagian dari dirinya, untuk melahirkan peradaban yang besar. Adalah mereka yang tak menjadikan keterbatasan anggaran pemerintah di sektor pendidikan sebagai alasan.

Dimana oh Dimana Guru Kreatif?

Minim penghargaan
Sungguh penghargaan terhadap generasi muda, khususnya para pelajar masih minim di Aceh. Salah satu tolok ukurnya adalah minimnya kuantitas kompetisi di berbagai sektor karya. Alasannya klasik. Alokasi anggaran minim. Cuma bisa buat olimpiade dan aneka lomba 17 Agustus saat perayaan Kemerdekaan RI. Hanya itu saja. Pemerintah, dalam hal ini pelaksana kebijakan pendidikan belum memiliki konsep kompetisi yang konstruktif, konsisten, dan terarah.

Untuk itu, perlu guru-guru kreatif yang mampu mencari celah-celah kompetisi mandiri di luar yang telah disediakan oleh pemerintah lokal dan pusat. Perlu guru-guru melek internet yang bisa mengoleksi berbagai informasi lomba di banyak tempat. Apalagi berdasarkan observasi penulis, dalam skala global ada ratusan kesempatan lomba yang bisa didapatkan melalui internet. Persoalannya, tak ada yang mau mengikuti. Tak ada yang mau menyokong siswa-siswinya dengan segala keterbatasan dan kelebihan intelegensinya.

Padahal, dari segi hadiah lumayan sangat membantu siswa. Lomba level provinsi saat ini rata-rata hadianya jutaan. Apalagi nasional dan internasional. Bahkan menjadi nominator saja akan diberikan akomodasi dan transportasi tertentu untuk melanjutkan tahapan lainnya. Semuanya serba gratis. Jadi tak perlu berharap anggaran pemerintah jika gurunya kreatif dan juga maniak lomba saat mahasiswa dulu.

Karenanya, saya pikir program satu guru satu laptop memang harus benar-benar dioptimalkan lagi. Masa pintarnya cuma kredit motor dan rumah. Kreditan laptop dan modem dululah biar perannya sebagai pengajar dan pendidik lebih optimal. Biar para guru bisa lebih kreatif. Agar siswa dan siswinya punya karya.

Bukan proses mudah
Satu waktu lalu, penulis pernah membicarakan hal ini kepada seorang teman yang baru saja lulus seleksi CPNS sebagai guru Pendidikan Kimia di bilangan Aceh Selatan. Secara personal, teman penulis ini merupakan orang yang sangat pintar. Saat lulus kemarin, indeks prestasi kumulatifnya bernilai cumlaude, sangat luar biasa. Secara praktis, dia pun mantan mahasiswa yang teruji mengajar di sejumlah bimbingan belajar di Banda Aceh. Hasilnya, dia disukai oleh banyak pelajarnya. Dia mendapatkan simpati anak didiknya.

Baru-baru ini, penulis mendapatkan kabar baru darinya. “Nggak sanggup diatur. Batat sekali. Masak berhitung udah SMA nggak bisa,” keluhnya panjang lebar dengan Bahasa Aceh yang punya intonasi dan dialeknya sangat menarik. Alasan sahabat saya ini memang punya kalkulasi lain. Dia mengajar di wilayah Kluet Timur, Aceh Selatan yang secara infrastruktur, geografis, dan lingkungan belum memadai. Sinyal saja barang langka di sana. “Hampir tidak dijual di kios-kios terdekat,” katanya menghibur diri.

Lalu saya berpikir sebentar. Ini memang bukan proses yang mudah. Tapi yakinlah bila dikerjakan secara konsisten, maka akan menghasilkan kualitas proses yang tidak biasa. Dan penulis menyakini, bila kualitas proses baik, maka baik pula hasilnya. Soal akses internet, masa bupati tak mampu membangun nilai tawar daerahnya dengan provider telekomunikasi? Apa kata dunia?

* Yuli Rahmad, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Guru Kreatif - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment