Mengintip Pemimpin Religius


Oleh Al Husaini M Daud* -

“Agama sangat diperlukan dalam kehidupan politik”, kata dekan fakultas Teologi Islam Universitas al-Azhar Mesir, Dr. Muhammad Ibraheem al-Geyoushi dalam sebuah wawancara dengan penulis buku “The New Cold War? Religious Nationalism confronts the Secular State,” Mark Juergensmeyer pada tahun 1990. Statemen ini mengungkapkan bahwa urusan publik tidak hanya diperlukan standar moralitas yang tinggi tetapi juga perpaduan identitas agama dan politik. Islam adalah kekuatan yang secara kultural membebaskan. Bebas dari intrik menyesatkan, lepas dari siasat abnormal, dan terhindar dari noktah budaya menghalalkan segala cara. Kehendak untuk mewujudkan otentisitas politik-religius yang terbebas dari noda budaya barat merupakan sebuah keniscayaan.

Bicara politik berarti bicara tentang upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan rakyat. Sebab itu, Islam dan umat Islam memberi atensi yang sangat besar kepada persoalan ini, terutama dalam menentukan kriteria seorang pemimpin yang dicita-citakan. Kemaslahatan dan kesejahteraan merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tak dapat ditepis dalam siklus safari kehidupan setiap individu di dunia ini. Dari zaman ortodok yang tingkat kebudayaannya sangat rendah untuk ukuran saat ini sampai era canggih yang konon memiliki strata peradaban yang tinggi, keberadaan manusia selalu tal dapat lepas dari kelompoknya dan senantiasa bergabung dalam satu ruang sosial. Kartini Kartono mengatakan bahwa pribadi manusia selalu menjadi bagian dari kelompoknya dan menjadi “onderdil” dalam suatu masyarakat.

Syahdan, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraannya, manusia modern sekarang ini sangat berkepentingan dengan gerak laju kepemimpinan yang memiliki kompetensi teknis yang tinggi di samping mempunyai konsep yang jitu. Di sisi lain dia juga memiliki sifat-sifat pribadi yang unggul. Karena itu, kesuksesan seorang pemimpin dapat diukur dari apakah kepemimpinannya mampu memberi dampak kesejahteraan jasmani dan rohani kepada yang dipimpinnya. Karenanya, kepiawaian dalam mengelola suatu masyarakat, dibutuhkan seorang pemimpin yang baik yang di satu sisi harus kuat (qawiyun) rohani dan jasmaninya, dan juga jujur (aminun) dalam mengaktualisasi kinerja kepemimpinannya, di sisi lain dia juga harus memiliki ilmu (alimun) yang memadai tentang bagaimana cara memimpin yang baik dan adil. Seorang pemimpin yang dicita-citakan tidak secara instan lahir dari rahim suatu masyarakat tanpa melalui suatu proses pengkaderan dalam tempo yang tidak singkat. Karena kalau dipaksakan maka akan terjadi mala petaka besar bagi rakyat sekaligus dalam waktu yang bersamaan akan terjadi penghancuran terhadap suatu sistem kepemerintahan yang ideal.

Barangkali agak klasik bila Muhammad “sang Nabi” dijadikan paket teladan kepemimpinan masa kini. Alasannya adalah dia merupakan “manusia” yang selalu dituntun perilakunya oleh Tuhan yang sudah pasti jauh dari cacat. Namun perlu dipahami ketika dia masuk dalam domain negara untuk memimpin masyarakat, dia telah mendapatkan pengalaman dan ilmu kepemimpinan sejak dia berada di tengah-tengah masyarakat sebelum dinobatkan sebagai “Sang Nabi”. Banyak problem kemasyarakatan mampu diselesaikan dengan bijak tanpa harus merugikan rakyat. Dalam hal ini Bernard S mengungkapkan bahwa “alangkah butuhnya dunia ini kepada seseorang seperti Muhammad, yang dapat memecahkan berbagai persoalan pelik sembari meneguk secangkir kopi”. Kasus ini mengilustrasikan bahwa seorang Nabi saja perlu ilmu dan pengalaman untuk memimpin suatu masyarakat. Bagaimana dengan kita?

Mengaca pada Kitab Suci
Alquran secara eksplisit mengungkapkan bahwa ada tiga strata kepemimpipinan dengan tiga kompetensi masing-masing yang harus dimiliki seorang pemimpin dan ini mungkin dapat menjadi renungan bagi calon pemimpin sekarang untuk bercermin sekaligus menjadikan kitab suci ini sebagai landasan pijak dalam memimpin. Untuk memimpin suatu pekerjaan yang sederhana seseorang dibutuhkan tenaga (kekuatan) dan kejujuran (Q.S. al-Qishash: 26). Karena pekerjaan tersebut tidak memerlukan manajemen dan pengelolaan yang sistemik. Ilustrasi ini adalah cuplikan peristiwa Nabi Musa ketika menolong dua perempuan (putri Nabi Syu’aib) yang kesulitan memberi minum domba mereka karena terhalang oleh para penggembala lelaki. Saat itu Musa menaruh iba dan kemudian menawarkan bantuan untuk meminumkan ternak dua perempuan itu hingga perempuan itu meminta kepada bapaknya untuk mempekerjakan Musa dengan alasan bahwa Musa memiliki kejujuran dan cukup tenaga.

Untuk memimpin peperangan melawan suatu kezaliman, maka seorang pemimpin tidak saja harus memiliki fisik yang kuat, namun juga ilmu yang luas (pengatahuan tentang strategi dalam manajemen memberantas kezaliman dan kemaksiatan). Nukilan ini tergambar dalam kisah bani Israil yang diusir dari negeri mereka setelah wafat nabi Musa.

Kekacauan melanda negeri bani Israil sehingga banyak anak-anak mereka yang ditawan oleh musuh. Saat itu, mereka mencoba mencari siapa pemimpin yang peling tepat untuk mengayomi dan mampu membebaskan mereka dari tirani musuh. Akhirnya mereka mereka memilih Thalut walau sebagian besar mereka meragukan kepiawaiannnya dalam memimpin bani Israil. Namun Nabi mereka saat itu menjamin bahwa Thalutlah yang tepat untuk berdiri di garda depan memimpin kaum Yahudi membebaskan diri dan generasi mereka dari musuh yang tiran. Alasannya, Allah telah menganugerahkan kepada Thalut Ilmu dan fisik yang kuat (Q.S. al-Baqarah: 247). dan (3) untuk memimpin sebuah pemerintahan (negara) yang kuat dan berkeadilan, seorang pemimpin harus mempunyai ilmu pengetahuan (pen: ilmu tentang pengelolaan kenegaraan) dan kejujuran (Q.S. Yusuf: 55).

Semoga nukilan tulisan singkat ini menjadi bongkahan percikan cahaya bagi calon-calon pempimpin Aceh ke depan dengan menjadikan Alquran sebagai panduan dalam proses pengambilan semua keputusan yang menyangkut dengan hajat hidup rakyat. Sehingga kesejahteraan rakyat Aceh bukan hanya sekadar retorika di atas lembaran kertas putih yang dikompanyekan saat keinginan menulang suara semata tetapi juga sebuah perwujudan nyata yang diaktualisasikan ketika tampuk kekuasaan dalam genggaman tangannya.

* Penulis adalah Manager Program The FINIKAS Institute Lhokseumawe.

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2011/09/06/mengintip-pemimpin-religius

0 komentar:

Post a Comment