Merdeka Bukan Sebenarnya


Oleh: Fetra Hariandja -

MERDEKA, merdeka, merdeka! Demikian kalimat yang lantang keluar dari mulut bangsa Indonesia pada 17 Agustus. Ya pada tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Tapi sebagian besar bangsa ini tidak mengerti makna yang mereka pekikan tersebut. Saudara kita tersebut tetap semangat bertariak meski untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat sulit.

Secara harfiah, kata merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, penindasan, pengekangan atau berdiri sendiri. Tapi untuk pengertian global, merdeka bisa dirasakan ketika anak bangsa bisa merasakan haknya sebagai warga negara. Hak yang diatur dalam Undang-Undang 1945.

Hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Bila sudah terwujud, teriakan merdeka di setiap HUT RI pantas didengungkan. Kalau belum, teriakan yang pantas mungkin ditambahkan kata belum, yakni Belum Merdeka.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan pada 2010 yakni 14,15 persen. Di Indonesia, orang suka atau tidak suka harus bekerja. Bila menganggur, dia akan mati. Belum lagi banyaknya generasi bangsa yang tergeletak akibat kelaparan dan kurang gizi.

Begitu juga dengan angka pengangguran yang cukup tinggi. Di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10% atau sekira 23 juta orang menganggur.

Ini bukti bahwa mereka belum bisa mendapatkan hak sebagai warga negara yang merdeka. Di bidang pendidikan pun demikian. Banyak anak dari kalangan tidak mampu, harus putus sekolah. Padahal, sebagian besar dari mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Untuk kasus ini, kita belum pantas mengumandangkan kata merdeka.

Tidak cukup sampai di situ. Sektor penting lain yang juga terkait dengan kemerdekaan adalah kesehatan. Kita kerap melihat warga miskin menghembuskan nafas terakhir akibat penyakit yang dideritanya. Bukan tidak mau berobat, tapi ongkos untuk menuju rumah sakit saja tidak punya.

Kalau pun ada jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), belum tentu bisa tersentuh seluruh warga miskin. Banyak birokrasi yang harus dilalui untuk memperoleh jaminan tersebut. Sehingga bisa besar pasak daripada tiang.

Persoalan di atas hanya segelintir anak bangsa yang belum memperoleh kemerdekaan. Masih banyak daftar persoalan negeri ini yang terkait dengan kemerdekaan.

Fakta memang, karena kemerdekaan hanya bisa dirasakan para pejabat, elit poltik dan konglomerat di negeri ini. Kemerdekaan juga hanya bisa dirasakan para koruptor.

Dengan meraup uang negara miliaran bahkan triliunan, mereka hanya dipenjara pada kisaran 1-7 tahun. Waktu yang cukup cepat bagi orang yang memiliki uang banyak. Artinya, setelah menyelesaikan "pendidikan" di Lembaga Pemasyarakatan (LP) mereka tetap menjadi orang kaya.

Andai saja, pemimpin di negeri ini bisa mencontoh China, mungkin jumlah koruptor bisa berkurang. Sebaliknya, aset negara bisa terus bertambah dan pada akhirnya bisa untuk kesejahteraan rakyat.

Seandainya para pemimpin dan penegak hukum di negeri ini belum mampu meluluhlantakan koruptor, mereka belum merdeka. Dengan independensi dan profesional, penegak hukum seharusnya tidak bisa disandera para koruptor.

Sekarang pertanyaan dikembalikan ke masyarakat, apakah bangsa Indonesia sudah merdeka?

Sumber: http://suar.okezone.com/read/2011/08/18/59/493322/merdeka-bukan-sebenarnya

0 komentar:

Post a Comment