Berpuasa Agar Sehat

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi* -
Alhamdulillah bulan Ramadhan, bulan penuh rahmat, keampunan dan kemenangan telah tiba dan hampir saja pergi meninggalkan kita. Bulan Ramadhan adalah bulan di mana diwajibkan berpuasa bagi seluruh umat Islam yang beriman. Allah telah mewajibkan ibadah berpuasa kepada kita (khususnya pada bulan Ramadhan) agar kita bertakwa (QS. Al-Baqarah, 2:183).
Berpuasa pada bulan Ramadhan telah menjadi bagian integral dari agenda tahunan umat Islam sebagaimana kegiatan lain seperti makan, minum, tidur dan mandi. Hanya saja, makan, minum, tidur dan mandi merupakan agenda harian dan nilai serta tujuannya berbeda. Setiap hari kita mandi badan segar dan bersih asalkan airnya bersih serta menggunakan sabun dengan benar. Begitu pula berpuasa, di dalamnya terkandung hikmah untuk menyegarkan dan membersihkan jiwa seseorang selama mengikuti aturan yang benar.
Dr. Yusuf al-Qardhawi (1995: 288) menjelaskan, tidak mungkin Allah mewajibkannya pada bulan tersebut kecuali di dalamnya mengandung rahasia-rahasia yang luar biasa, hikmah yang tinggi, ada yang sudah kita ketahui dan ada yang belum kita ketahui. Sebagian dari hikmah dan rahasia tersebut telah diketahui oleh para ilmuwan sejalan dengan kemajuan zaman. Cak Nun mengatakan bahwa di balik perintah puasa itu justru ada sebuah target, yakni proses penyehatan secara rohaniah. Dan yang demikian itu sangat penting bagi kelangsungan manusia itu sendiri (Dr. Nurcholish Madjid, 2001: 58).
Ada beberapa hal yang harus kita siapkan dan perhatikan. Pertama, siapkan hati. Tetapkan tekad dan niat untuk melakukan puasa dengan gembira mengingat puasa adalah perintah Allah yang pasti di dalamnya terkandung bingkisan kasih sayang dari-Nya. Nabi SAW bersabda, barang siapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka (Hadits Mutafaku `Alaih). Kedua, perhatikan nasihat dokter atau ahli nutrisi, bagaimana pola makan-minum yang sehat selama Ramadhan sehingga dengan berpuasa tubuh menjadi lebih kuat.
Ketiga, mantapkan niat dan usaha untuk menjalankan berbagai ibadah sunah selama puasa seperti shalat tarawih, tadarus baca Al-Qur`an, dan amalan sosial lain agar bobot puasanya semakin terasa. Keempat, jadikan Ramadhan sebagai bulan kuliah semester pendek untuk mendalami ilmu keislaman, baik dengan mengikuti kuliah televisi yang berbobot atau membaca buku secara terprogram.
Dalam ibadah puasa terdapat dimensi metafisik, ini menyangkut keimanan yang semata menjalani perintah Allah. Sebagai orang beriman, sikapnya hanyalah menjalani dan mengimani apa yang diperintahkan-Nya. Seberapa besar pahala puasa, kita serahkan saja kepada Allah, yang paling pokok kita melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Namun dalam puasa juga terdapat dimensi-dimensi lain yang bisa diamati dan dianalisis secara ilmiah-empiris. Terutama yang menyangkut kesehatan fisik dan mental. Dimensi ini telah banyak dikaji oleh kalangan kedokteran dan psikolog.
Sabda Nabi SAW, berpuasalah agar engkau sehat, memperoleh pembenaran dari para ahli kesehatan. Bahkan, banyak dokter yang menggunakan terapi puasa bagi para pasiennya. Untuk ini, yang memberi ceramah tentang puasa sebaiknya jangan didominasi para ustad yang memang bukan ahlinya membahas hubungan puasa dengan kesehatan. Begitu pun puasa dan kesehatan jiwa, sebaiknya ada kajian dan ahli khusus yang memberikan pencerahan kepada masyarakat agar wawasan kita mengenai puasa semakin kaya. Ini tidak dimaksudkan untuk mengilmiahkan semua perintah ibadah, melainkan berusaha menggali hikmah yang terkandung dalam ibadah. Bukankah Allah menyuruh menggunakan nalar untuk memahami ajaran-Nya?.
Jadi, kalau kita renungkan, semua perintah ibadah selalu ada pesan metafisik dan pembelajaran yang bersifat psikologis-sosial yang bisa dikaji dengan bantuan ilmu pengetahuan. Di situ terdapat maksud agar dengan mengikuti ajaran agama, hidup menjadi sehat jasmani, nafsani, rohani. Sehat secara individual maupun sosial. Yang paling mudah diamati, perintah puasa mengajak kita untuk menjaga lisan dan tindakan karena akan merusak kualitas puasa. Efek dari perintah ini adalah menciptakan hubungan sosial yang santun dan saling menghargai sehingga hubungan sosial menjadi sehat dan harmonis.
Sebagai penutup Ramadhan, kita diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan banyak kalangan yang juga mengeluarkan zakat tahunan. Ini menunjukkan bahwa pesan ibadah yang bersifat vertikal mesti membuahkan perbaikan horizontal sehingga efek ibadah menyehatkan kondisi sosial masyarakat. Namun, disayangkan, ada kecenderungan aktivitas ibadah berhenti pada niat dan keinginan mengumpulkan pahala semata. Pesan sosial Ramadhan berhenti dan terkurung di ruang mesjid, tidak menjangkau ranah masyarakat sehingga ajaran Islam enak dan logis di dengar ketika diceramahkan, tetapi miskin implementasinya.
Sekarang ini yang sakit serius bukannya pada tataran pribadi, tetapi masyarakat. Akibat korupsi dan tiadanya pemerataan hasil kekayaan negara, terjadi stroke sosial. Ada bagian-bagian organ tubuh masyarakat dan bangsa yang tidak mendapat aliran darah dan oksigen pembangunan secara memadai sehingga mengalami kelumpuhan. Satu area dan strata sosial tertentu menikmati kekayaan berlebihan, sementara organ dan area masyarakat yang lain mengalami defisit. Jangankan untuk biaya pendidikan, sekedar untuk makan, minum, dan berteduh saja susah.
Coba kita  bayangkan, kalau pemerintah jeli dan tangkas menjaga dan meneruskan nilai serta rekomendasi puasa untuk hidup bersih dan senang berbagi, pasti budaya agama akan menjadi kekuatan pembangunan bangsa dan negara. Betapapun mulia dan rasionalnya ajaran puasa, jika negara tidak membantu implementasinya untuk hidup bersih, bebas dari korupsi, maka agama menjadi kurang fungsional sebagai penebar rahmat bagi semesta.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh.

Pahlawan yang Terlupakan


Oleh: IKRAR NUSA BHAKTI* -

Wajahnya masih memancarkan semangat juang meski ia kini berusia senja. Jalannya juga masih gagah menunjukkan ia adalah prajurit sejati. Di pelupuk matanya ada selotape yang menempel sampai ke alis matanya yang putih untuk menahan agar matanya tetap terbuka.

Saat berbicara, suaranya masih lantang walau agak gemetar. Tak banyak orang mengetahui siapa ia. Ternyata ia adalah Ilyas Karim, sang pengerek bendera pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Siapa nyana pengalaman Ilyas Karim mengenai detik-detik yang mendebarkan 66 tahun lalu itu ia kisahkan di acara Democrazy di Metro TV pada Minggu (14/8/2011). Acara parodi politik khas anak-anak muda itu ternyata juga dapat menggugah hati kita agar, mengutip ucapan Bung Karno,“Jangan sekali- kali melupakan sejarah.”

Secara gamblang Ilyas mengisahkan bagaimana ia bisa menjadi pengerek pertama bendera pusaka yang dijahit tangan ibu negara kita yang pertama, Fatmawati. Pada malam 16 Agustus 1945 para pemuda yang bermarkas di Menteng Raya 31, Gedung Juang sekarang, diberi tahu oleh pimpinan mereka, Chaerul Saleh, agar pagi hari siap-siap berangkat ke rumah Ir Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

Jalan dari Menteng ke Pegangsaan Timur tidaklah terlalu jauh, sekitar 3 km. Sesampainya mereka di rumah itu, alangkah kagetnya Ilyas karena mendapatkan tugas untuk menaikkan bendera pusaka diiringi lagu Indonesia Raya. Tugas menaikkan bendera pusaka itu ia lakukan tanpa latihan apa pun! Ini berbeda dengan para pengerek bendera pusaka di Istana Merdeka sekarang yang harus dilatih berminggu minggu.

Ada suatu yang lucu saat penaikan bendera itu. “Saat itu,” kata Ilyas,”Lagu Indonesia Raya belum selesai, sementara bendera sudah mencapai ujung tiang bendera. Akhirnya Ilyas langsung saja mengikat tali bendera sampai lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan.” Ilyas memang secara kebetulan ditugaskan oleh Sudanco Latief agar berdua dengan Sudanco Singgih menjadi pengerek bendera pusaka.

Pria kelahiran 13 Desember 1927 ini kini hidup di rumah sempit berukuran 50 meter persegi di pinggir rel kereta api di Jalan Rajawali Barat, Kalibata, Jakarta Selatan. Ia sudah beberapa kali tergusur. Sebelumnya, sebagai seorang perwira menengah dari jajaran Siliwangi, Ilyas pernah menempati rumah di Kompleks Siliwangi, Lapangan Banteng, yang kini menjadi Kompleks Kementerian Keuangan.

Di masa lalu kompleks militer ini amatlah terkenal di antara anak-anak muda dengan kode 234 SC (Jie Sam Soe Siliwangi Club). Selain Ilyas Karim, memang ada orang lain yang mengaku sebagai pengibar bendera pusaka yang bercelana pendek seperti Sudaryoko atau Supriadi.

Namun, Ilyas berani memastikan, dirinya adalah pengerek bendera pusaka bercelana pendek itu. Jika benar ia pengerek bendera pusaka pertama, hati kita tentunya amat terenyuh, mengapa nasibnya begitu kelam.

Ilyas adalah satu contoh pahlawan yang terlupakan. Ada juga pahlawan-pahlawan lain yang diri atau keluarganya perlu mendapatkan perhatian, termasuk para tokoh masyarakat Irian Barat yang dulu menjadi pejuang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Terlepas dari ada di antara mereka yang kemudian memberontak kepada Republik, pemberontakan itu hanyalah ungkapan kekecewaan mereka kepada pemerintah.

Seperti diungkapkan almarhum Theys Hiyo Eluai kepada penulis lebih dari 20 tahun lalu. Dulu ia adalah seorang nasionalis anggota PNI. Tak heran jika di ruang tamu rumahnya terpampang foto Presiden Soekarno dan Presiden JF Kennedy, serta foto Megawati Soekarnoputri.

Saat penulis bertanya mengapa ia kemudian menjadi anggota DPRD Irian Jaya mewakili Golkar, Pace Theys tertawa terbahakbahak sambil mengatakan, “Itu demi kenyamanan politik saja. Hati saya tetap orang PDI.” Theys juga mengaku sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di wilayah Sentani.

Lodewijk Mandatjan, tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) asal Arfak, juga pengibar bendera Merah Putih pertama di wilayah sekitar Manokwari. Hal yang sama dilakukan oleh Martin Indey, seorang nasionalis Indonesia asal Tabla Supa, Jayapura. Sampai sekarang nama Martin Indey tidak bisa diabadikan menjadi nama bandara Sentani seperti pernah diusulkan DPRD Jayapura puluhan tahun lalu.

Tokoh Ondoafi Sentani, almarhum Samuel Joku, yang penulis temui 24 tahun lalu, hanya mengatakan, “Bagaimana Martin bisa jadi pahlawan kalau selama menjadi mantri polisi di Sentani masa Belanda ia suka memukuli rakyat.”

Sam Joku adalah ayah dari mantan “Menteri Luar Negeri” Presidium Dewan Papua (PDP), Franzalbert Joku, yang kini sudah menjadi warga negara Indonesia kembali dan menjadi salah satu calon yang bertarung untuk menjadi Bupati Jayapura. Martin Indey tidak menjadi nama bandara Sentani bukan karena masa lalunya sebagai mantri polisi, melainkan karena ia bukan orang Sentani.

Masih banyak pahlawan-pahlawan yang terlupakan di negeri ini. Nama-nama mereka tak masuk dalam sejarah karena mereka hanyalah orangorang kecil dan bukan bagian dari elite politik nasional pada masanya.

Hingga kini memang masih ada jurang antara elite dan massa rakyat. Rakyat hanyalah pelaku sejarah yang terlupakan. Beginikah cara bangsa kita memperlakukan mereka? Kita lupa nasihat Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.”

*IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI/ Pengamat Politik

Merdeka Bukan Sebenarnya


Oleh: Fetra Hariandja -

MERDEKA, merdeka, merdeka! Demikian kalimat yang lantang keluar dari mulut bangsa Indonesia pada 17 Agustus. Ya pada tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Tapi sebagian besar bangsa ini tidak mengerti makna yang mereka pekikan tersebut. Saudara kita tersebut tetap semangat bertariak meski untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat sulit.

Secara harfiah, kata merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, penindasan, pengekangan atau berdiri sendiri. Tapi untuk pengertian global, merdeka bisa dirasakan ketika anak bangsa bisa merasakan haknya sebagai warga negara. Hak yang diatur dalam Undang-Undang 1945.

Hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Bila sudah terwujud, teriakan merdeka di setiap HUT RI pantas didengungkan. Kalau belum, teriakan yang pantas mungkin ditambahkan kata belum, yakni Belum Merdeka.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan pada 2010 yakni 14,15 persen. Di Indonesia, orang suka atau tidak suka harus bekerja. Bila menganggur, dia akan mati. Belum lagi banyaknya generasi bangsa yang tergeletak akibat kelaparan dan kurang gizi.

Begitu juga dengan angka pengangguran yang cukup tinggi. Di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10% atau sekira 23 juta orang menganggur.

Ini bukti bahwa mereka belum bisa mendapatkan hak sebagai warga negara yang merdeka. Di bidang pendidikan pun demikian. Banyak anak dari kalangan tidak mampu, harus putus sekolah. Padahal, sebagian besar dari mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Untuk kasus ini, kita belum pantas mengumandangkan kata merdeka.

Tidak cukup sampai di situ. Sektor penting lain yang juga terkait dengan kemerdekaan adalah kesehatan. Kita kerap melihat warga miskin menghembuskan nafas terakhir akibat penyakit yang dideritanya. Bukan tidak mau berobat, tapi ongkos untuk menuju rumah sakit saja tidak punya.

Kalau pun ada jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), belum tentu bisa tersentuh seluruh warga miskin. Banyak birokrasi yang harus dilalui untuk memperoleh jaminan tersebut. Sehingga bisa besar pasak daripada tiang.

Persoalan di atas hanya segelintir anak bangsa yang belum memperoleh kemerdekaan. Masih banyak daftar persoalan negeri ini yang terkait dengan kemerdekaan.

Fakta memang, karena kemerdekaan hanya bisa dirasakan para pejabat, elit poltik dan konglomerat di negeri ini. Kemerdekaan juga hanya bisa dirasakan para koruptor.

Dengan meraup uang negara miliaran bahkan triliunan, mereka hanya dipenjara pada kisaran 1-7 tahun. Waktu yang cukup cepat bagi orang yang memiliki uang banyak. Artinya, setelah menyelesaikan "pendidikan" di Lembaga Pemasyarakatan (LP) mereka tetap menjadi orang kaya.

Andai saja, pemimpin di negeri ini bisa mencontoh China, mungkin jumlah koruptor bisa berkurang. Sebaliknya, aset negara bisa terus bertambah dan pada akhirnya bisa untuk kesejahteraan rakyat.

Seandainya para pemimpin dan penegak hukum di negeri ini belum mampu meluluhlantakan koruptor, mereka belum merdeka. Dengan independensi dan profesional, penegak hukum seharusnya tidak bisa disandera para koruptor.

Sekarang pertanyaan dikembalikan ke masyarakat, apakah bangsa Indonesia sudah merdeka?

Sumber: http://suar.okezone.com/read/2011/08/18/59/493322/merdeka-bukan-sebenarnya

‘Ashabul Kuphi’

‘Ashabul Kuphi’ - Serambi Indonesia -

Oleh Sehat Ihsan Shadiqin

ADA dua jamaah yang paling banyak “menghidupi” malam bulan puasa, yakni jamaah masjid dan jamaah warung kopi atau “ashabul kuphi”. Perbedaan paling prinsipil antara keduanya adalah, jamaah masjid selalu penuh di awal Ramadhan. Bahkan masjid-masjid hampir tidak cukup menampung jamaah yang membludak. Sebaliknya, “ashabul kuphi” semakin bertambah seiring jumlah hitungan hari puasa. Semakin lama puasa, semakin banyak pula jamaah yang datang ke sana. Bahkan pada sepuluh akhir puasa, warung kopi hampir tidak mampu menyediakan kursi tempat duduk karena begitu banyak jamaah yang datang, bahkan mulai setelah berbuka puasa.

Ramadhan dan Model Pembangunan

Ramadhan dan Model Pembangunan - Serambi Indonesia -

Oleh Shabri Abd. Majid

RAMADHAN adalah bulan suci yang penuh makna, sarat nilai, multi-hikmah dan bermega-pahala. Selain menyehatkan raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran, sederhana, gemar menabung, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, Ramadhan turut meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat.

Puasa Berpolitik

Puasa Berpolitik - Serambi Indonesia -

DALAM eskalasi politik yang tidak menentu seperti sekarang ini, kehadiran bulan suci Ramadhan bagi masyarakat Aceh amatlah tepat.Dengan hadirnya bulan suci ini sedikit banyaknya akan memberi pengaruh positif terhadap tekanan mental yang selama ini dirasakan agak menegang. Sebab, dengan menjalankan ibadah puasa dengan benar diyakini mampu meredam berbagai dorongan nafsu (khususnya kekuasaan) yang selama ini kelihatannya semakin liar saja.

Manifesto Anti Islam

Manifesto Anti Islam - Serambi Indonesia -

PEMBANTAIAN massal yang membabi buta terhadap para remaja peserta perkemahan partai buruh Norwegia di pulau Utoya pada hari Jumat tanggal 22 Juli 2011 dan pengeboman tidak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh Anders Behring Brievik di Oslo Norwegia yang merenggut 93 jiwa, luka berat dan ringan sebanyak 90 orang membuat dunia internasional terkejut, betapa seorang Brievik yang masih muda dan tampan tega melakukan tindakan kejam seperti itu.

Introspeksi (muhasabatun nafsi)

Hakimis: Introspeksi (muhasabatun nafsi): "Instrospeksi (Muhasabatun-Nafs) Introspeksi diri dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah Muhasabatun-nafs. Dia merupakan perkara yang sa..."

Bagaimana Meningkatkan Kualitas Pendidikan Kita