Zainuddin dan Nazaruddin

Dunia dilengkapi terang dan gelap, siang dan malam, lelaki dan perempuan, dekat dan jauh, rendah dan tinggi, maupun baik dan buruk. Zainuddin membawa kita pada imajinasi tentang kebaikan, dan Nazaruddin kepada keburukan. Almarhum Zainuddin Muhammad Zein mengajak sejuta umat menuju kebaikan dengan segala kenikmatan dunia akhirat, sementara Muhammad Nazaruddin dihujat jutaan orang karena mempraktikkan keburukan dengan segala adzab dunia akhirat.
  
Din pada almarhum Zainuddin merupakan sebuah jalan lurus yang dibimbing para malaikat menuju pintu surga, din pada Nazaruddin berbentuk jalan pintas yang penuh rayuan syetan sehingga mempercepat ke dasar neraka. Zainuddin menegakkan "din", Nazaruddin menodai "din". Kata orang, "din" adalah cahaya agama. Pada akhirnya, almarhum Zainuddin berdiri pada pilar moralitas yang dihiasi rigorisme, dan Nazaruddin meninggalkan moralitas untuk kemudian terperangkap laksisme. Oleh sebab itu, kepergian almarhum Zainuddin diiringi doa, dan kepergian Nazaruddin diwarnai sumpah serapah.
  
Begitulah dunia yang diwarnai dikotomi-dikotomi tegas. Inilah dualitas semesta. Dalam sejarah agama ada Habil dan Qabil, di pewayangan kita kenal Pendawa dan Kurawa, dan kini ingatan kita disegarkan Zainuddin dan Nazaruddin.
  
Zainuddin Muhammad Zein adalah seorang dai kondang yang baru saja pergi dipanggil Sang Khalik pada Selasa (5/7/2011) pukul 09.15 WIB, dan Muhammad Nazaruddin adalah seorang politisi tersangka kasus suap yang baru-baru ini dikabarkan pergi dari Singapura. Keduanya, dalam realita kehidupan bisa ditafsir saling keterkaitan. Zainuddin mempunyai tugas untuk mengajak Nazaruddin meninggalkan keburukan. Dalil agama digunakan Zainuddin untuk meyakinkan Nazaruddin. Kemudian Zainuddin mengingatkan Tuhan dimana-mana, tetapi sayang, Nazaruddin justru lebih percaya kepada filsuf Nietzsche bahwa "Tuhan telah mati!". Lantaran racun Nietzsche itulah Nazaruddin gampang sekali melupakan kebaikan.
  
Padahal jika seeorang masih ingat baik, ia akan dituntun mencapai tujuan hidup melewati rel moralitas. Baik adalah kunci moralitas. Namun, apakah baik itu? Kita bakal kesulitan untuk mendefinisikan "baik" itu. Sejak dulu diingatkan oleh Filsuf George Edward Moore, jangan bersusah payah untuk mencari definisi kata "baik". Moore punya argumen "baik" itu  bersifat primer sehingga tidak bisa  dianalisis karena memang bukan terdiri dari bagian-bagian lagi. "Baik" tak bisa direduksi kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi karena memang dari sono-nya sudah merupakan data dasar. Atas dasar ini kita tidak akan menemukan definisi itu.
  
Agar baik punya makna, maka Moore membedakan "baik" dan "sesuatu yang baik". Tatkala membicarakan "sesuatu yang baik" maka "baik" yang dikenakan pada sesuatu itu sudah bisa dimaknai. Memang agak ruwet untuk dipahami, tetapi dengan contoh ini, misalnya, "politisi yang baik" maka "baik" yang dikenakan pada "politisi" sudah bisa dimaknai. Maknanya adalah politisi baik mau mempraktikkan segala ragam keutamaan.
  
Lebih makro lagi bahwa "manusia yang baik", menurut Aristoteles, melakukan aktivitas jiwa dalam kesesuaian dengan keutamaan. Di sini jelas, "keutamaan-keutamaan" menjadi ukuran "manusia baik". Platonis senantiasa menggunakan "yang baik" sebagai tujuan. Oleh karena itu segala tindakan dan pilihan akan mengacu kepada tujuan "yang baik". Tujuan "yang baik" itu sendiri, menurut Plato, bermuatan keutamaan.
    
Aristoteles hanya memberi batas keutamaan kepada "sifat karakter yang tampak dalam tindakan kebiasaan". Misalnya begini, kita tidak mencapai karakter jujur jika dilakukan kadang-kadang saja. Tetapi kalau terus berusaha menempatkan kejujuran sebagai kebiasaan sehari-hari,  maka karakter jujur berpotensi melekat pada diri kita. Inilah yang dimaksud Aristoteles sebagai keutamaan. Jadi, kebiasaan jujur ini merupakan tindakan yang muncul dari karakter yang kokoh dan tak berubah.
  
Mari kembali ke realitas sehari-hari, bagaimanakah "politisi yang baik"?. Dari paparan di atas maka "politisi yang baik" semustinya mengacu kepada keutamaan-keutamaan. Secara umum keutamaan itu sudah dicantumkan dalam kode etik maupun petunjuk kerja di institusinya, tetapi jika mengacu kepada unsur keutamaan, sampailah kepada jenis karakter yang dibutuhkan untuk menjadi "politisi yang baik".
  
Politisi yang baik mau menjunjung tinggi etika politik. Lewat etika politik inilah seorang politisi mengincar hidup baik bersama. Dari pendekatan ini akan diketahui bahwa etika politik merupakan manajemen hidup bersama yang baik. Sebuah tata hidup yang mematangkan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan solidaritas. Empat hal ini bakal dijunjung oleh politisi yang baik.
  
Bukankah almarhum Zainuddin senantiasa mengingatkan empat hal itu dalam dakwah-dakwahnya? Maka, untuk memeroleh "sesuatu yang baik" kita memang butuh orang sekaliber almarhum Zainuddin. Ini mau menegaskan, kalau kita ingin mencapai kebaikan, kita butuh pengganti Zainuddin. Para pengganti Zainuddin inilah yang bakal menghambat kemunculan Nazaruddin-Nazaruddin lainnya. Kita bisa bayangkan, pengganti Zainuddin dihadapkan tantangan berat. Mereka dituntut untuk meyakinkan umat bahwa "baik adalah kunci moralitas"! (*)

Toto Suparto, esais, @puskabjogja.

Sumber: Okezone.com

0 komentar:

Post a Comment