Islam, Politik dan Pancasila

Oleh: Jusman Dalle* - 

TAK dapat dimungkiri, hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih terus menuai diskursus di kalangan umat Islam. Sebagian memandang Pancasila sebagai thagut dan rentan menjatuhkan ke lembah kesyirikan, sebagian lagi bersikap akomodatif.

Pancasila yang berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan, diterima sebagai ideologi negara yang mengatur keanekaragaman Indonesia, (bukan ideologi yang dipaksakan untuk individu).

Perjalanan Pancasila


Diskursus tersebut tentu tidak lepas dari sejarah perjalanan umat Islam dengan Pancasila. Pancasila mula-mula digagas dan disampaikan saat Muhammad Yamin berpidato pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada 1 Juni 1945, kemudian dikemukakan gagasan serupa dengan substansi yang sama.

Perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan oleh penguasa, yang oleh penulis diidentifikasi sebagai sebab musabab trauma terhadap Pancasila.

Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara komunis). Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.

Termasuk juga dugaan adanya campur tangan intelijen Amerika Serikat yang memang tidak senang dengan haluan politik antikolonial Soekarno, yang notabenenya merupakan sekutu AS merupakan negeri-negeri penjajah.

Pancasila dijadikan korban. Termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada waktu itu, berupaya menggerakkan Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah sejarah awal suramnya perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui perdebatan maraton dan alot sebagai buah pemikiran founding father bangsa. Bahkan Soekarno secara akomodaif namun penuh muatan politik, menggagas konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Sesuatu yang tidak mungkin.

Ibarat mencampur antara air dan minyak, Soekarno hendak menjadikan komunisme sebagai faham yang diterima di republik ini. Bukan itu saja, Soekarno pun mengangkat diri sebagai Presiden seumur hidup, suatu penghianatan terhadap demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Terlapas dari jasa-jasanya sebagai Proklamator dan tokoh founding father bangsa, Soekarno menciderai Pancasila.

Pancasila Soeharto, Hantu Bagi Umat Islam
Setali tiga uang, Soeharto yang pada awalnya tampil gagah membela Pancasila, termasuk propaganda Soeharto yang seolah menyelamatkan Pancasila dalam peristiwa berdarah 30 September 1965 yang kemudian dikenal sebagai hari Kesaktian Pancasila. Saat Pancasila berusaha diganti dengan komunisme -anti Tuhan- yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa Indonesia.

Rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila mejadi hantu dan momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptakan stabilitas yang membungkus niat busuk melanggengkan kekuasaan, menjadi alasan tindakan represif rezim Soeharto (Orde Baru). Kalangan santri dituduh merancang makar terhadap Pancasila, dan khususnya penguasa.

Akibatnya, umat Islam yang dijadikan korban rezim mengalami trauma sosial. Efek traumatik ini yang justru melahirkan gerakan-gerakan bertentangan dengan NKRI. Trauma yang direproduksi oleh rezim. Tak dapat dipungkiri, Pancasila lah yang menjadi tameng dan benteng kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.

Pancasila pula yang dijadikan senjata pamungkas saat suara-suara demokratisasi mulai bergema. Namun pada akhirnya, kebatilan akan zahuq di atas kebenaran. Soeharto ambruk di Istana. Soeharto sukses mengembalikan sakralitas Pancasila sebagai momok menakutkan, yang juga secara paradoks sukses menodai Pancasila.

Reformasi, Pancasila Menghilang   
Era reformasi datang dengan membuka diri dalam ruang kebebasan yang unlimited. Demokratisasi membuka ruang partisipasi bagi siapa saja. Termasuk bagi mereka yang datang tanpa ideologi, atau mereka yang memiliki ideologi alternatif untuk menggantikan Pancasila yang dipandang tidak lagi diperlukan. Termasuk juga yang bisa membeli ideologi dengan rupiah.
   
Sekali lagi bahwa, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politiknya. Nahasnya, babak demokrasi ini datang ketika trauma masa lalu masih melekat dalam benak sebagian masyarakat. Termasuk juga ketika nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi luntur oleh dinamika poliitk yag super cepat.
   
Akhirnya, muncullah berbagai jenis kelamin politik yang secara normatif menuliskan Pancasila di dalam AD/ART partainya. Namun pada kenyataannya, lagi-lagi Pancasila dibajak, kali ini beramai-ramai karena eranya demokratis. Keyakinan terhadap ketidakmampuan Pancasila untuk dilanjutkan sebagai dasar negara pun menyeruak. Termasuk dari generasi muda. Berbagai survei menguatkan keyakinan tersebut. Pancasila tidak lagi sakti.
   
Bahkan konflik sosial berlatar ekonomi, politik, dan SARA, jamak terjadi. Kohesifitas Pancasila hilang di tengah arus globalisasi yang menawarkan berbagai ideologi yang “menyenangkan”. Ditambah lagi oleh aksi akrobatik para pemimpin negeri ini yang memperlihatkan ketidakpedulian pada rakyatnya. Kekhawatiran terhadap krisis rasa kebangsaan pun terus mencuat ke permukaan.
   
Tidak saja dari data berbagai lembaga survey yang merepresentasikan ancaman tersebut, akan tetapi kita juga telah disuguhkan oleh tontonan  memilukan oleh aktor-aktor reformasi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai elit bangsa.
   
Mengutip dari Fahri Hamzah di dalam bukunya Negara, Pasar dan Rakyat, negara yang sejatinya berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dalam rangka mengakomodasi kepentingan rakyatnya, justru menjadi sosok egois dan sekedar corong aspirasi pihak-pihak tertentu. Akibatnya, kekuasaan dipandang penting dan perlu hanya bagi mereka yang diuntungkan. Maka hilanglah daya tarik negara dan segala instrumennya.
   
Sebagaimana Antonio Gramsci, kuasa mayoritas menjadi absolut adanya. Demokrasi hanya milik mereka yang memiliki dominasi kuasa yang ditopang oleh materi. Ideologi dikeranjangsampahkan.
   
Fakta ini dapat dilihat dari lemahnya kapasitas pemimpin kita. Baik secara moralitas, maupun secara leadership. Justru mereka yang menjadikan materi sebagai ideologi politik dan kebangsaannya, melenggang tanpa hambatan. Lihatlah misalnya, benih-benih politik dinasti di sejumlah derah mulai mengkhawatirkan kita. Model politik yang tidak bermuara pada ideologi, yang menjadikan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan.
   
Tidak hanya itu, kekosongan ideologi juga melahirkan koruptor. Bahkan koruptor berjamaah kita dapat saksikan dari rombongan yang terdiri 26 mantan anggota DPR yang digelandang oleh KPK. Ini masih di DPR Pusat, belum lagi di daerah. Termasuk 155 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.
   
Pancasila yang ke lima dasarnya relevan dengan nilai-nilai Islam tentu tidak harus ditolak secara absolut. Dari soal Tauhid pada sila pertama, jelas-jelas merupakan pokok agama Islam. Pintu masuk dan keluar dari Islam ada pada kalimah tauhid sebagai persaksian. Syahadat.

Kemanusiaan pada sila kedua, dapat kita lihat misalnya di dalam ayat “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah penataannya yang baik” (QS Al-A'raf: 56).

Persatuan pada sila ketiga , adalah perintah yang sangat ditekankan oleh Islam. Allah Swt berfirman “Berpegang teguhlah kamu sekalian pada agama Allah, dan janganlah kamu berpecah belah. Ingatilah karunia Allah kepadamu, ketika kamu dahulunya bermusuh-musuhan, lalu dipersatukan-Nya hatimu, sehingga kamu dengan karunia Allah itu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulunya berada di tepi jurang neraka, lalu Allah melepaskanmu dari sana. Demikianlah Allah menjelaskan keterangan-keteranganNya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al-Imran: 103)

Termasuk juga musyawarah yang merupakan intisari dari sila keempat Pancasila. Allah berfirman; “(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38).

Dan keadilan pada sila kelima. Di dalam Al Qur’an surat An-Nisa: 135 Allah SWT berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qist (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…’)." Bahkan Kata ‘adl (keadilan) yang dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali dalam Alquran.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Analis Ekonomi Politik SERUM Institute


Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2011/06/01/95/463387/islam-politik-dan-pancasila

0 komentar:

Post a Comment