Membina Yang Tersesat

Oleh: Prof. Dr. H. Al-Yasa Abu Bakar, MA*-

SEKIRANYA diajukan pertanyaan apa harapan orang tua mengenai pendidikan anak-anaknya, kuat keyakinan mayoritas akan menjawab, agar setelah dewasa nanti menjadi orang yang baik. Orang yang jujur, suka bekerja keras, suka menolong, pandai bergaul, mempunyai penghasilan yang baik, peduli pada yang miskin dan yang paling penting menjadi muslim yang taat beribadah, serta berbakti kepada orang tua. Lalu bagaimanakah harapan tersebut diwujudkan? Untuk ini pun mungkin sekali semua sepakat, melalui pendidikan yang baik, yang dipahami dengan memilih sekolah (madrasah/dayah) yang berkualitas. Mungkin karena alasan inilah setiap awal tahun kebanyakan orang tua berusaha mencari dan memilih sekolah yang terbaik buat anak-anaknya sesuai kemampuan masing-masing. Kemampuan di sini dilihat dari dua sisi, kemampuan si anak, dalam arti kemampuan otak dan kesungguhannya untuk belajar, serta kemampuan orang tua dalam arti kemampuan keuangan serta kesiapan untuk berpisah dengan anak (sekiranya mereka masuk ke dayah atau sekolah berasrama).

Pada sekolah yang baik, sebagai bagian dari upaya menanamkan akhlak yang luhur, dan keimanan yang lurus, para murid (santri) dilarang mencontek ketika ujian, diajarkan sportif ketika berolah raga, diajarkan rendah hati dengan berpakaian sederhana dan larangan menggunakan berbagai peralatan mewah, diajarkan peduli pada agama dengan taat beribadah. Kepada para murid ditanamkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna, yang akan memberikan keagungan dan kebahagiaan kepada umatnya, dalam kehidupan dunia yang penuh dengan persaingan dan kecurangan, serta dalam kehidupan di akirat ketika tidak ada lagi persaingan dan kecurangan. Untuk ini saya mengucapkan hormat dan penghargaan yang tinggi diiringi doa yang tulus agar para guru yang peduli ini, yang sejak saat penerimaan murid sudah mengingatkan orang tua bahwa di sekolah itu tidak akan ada rekayasa nilai.

Anak-anak yang umumnya cerdas, lugu dan polos yang penuh semangat dan yakin pada kebenaran ajaran agamanya, tentu akan menerima dan bahkan menghayati pengajaran para guru yang penuh dedikasi dan orang tua yang sangat mencintai mereka tersebut. Tetapi bukan rahasia lagi, kalau di ujung pendidikan, ketika mengikuti ujian akhir, mereka melihat dan mendengar kecurangan dan “kemunafikan” yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sebelumnya ditanamkan dengan penuh semangat dan susah payah. Ada sebagian guru yang mengajari dan menolong siswanya untuk berbuat curang. Ada sebagian orang tua yang takut anaknya tidak lulus, mendorong anak untuk curang, mereka diberi kunci jawaban yang belum tentu benar, sehingga anak-anak menjadi bimbang. Imannya diuji, bahkan diruntuhkan sebelum mereka keluar dari bangku sekolahnya.

Setelah anak keluar dari sekolah, ketika dia masuk ke perguruan tinggi, dalam usia pancarobanya itu mungkin sekali dia melihat berbagai ketidakadilan dan kemunafikan yang lebih parah lagi, yang pada akhirnya berujung pada pertanyaan dan renungan, kalau Islam betul merupakan agama yang benar kenapa umat menjadi terpuruk, kenapa umat menjadi munafik dan tidak mengamalkan agamanyan secara benar? Sering pertanyaan ini hanya mereka pendam karena tidak menemukan orang yang akan menjawabnya secara jujur dan memuaskan. Ada satu dua orang yang dia idolakan, tetapi dia tidak mempunyai jalan untuk menghubunginya. Orang tua juga sering terlalu sibuk, sehingga tidak mempunyai waktu, atau tidak mampu menjawab, atau telanjur tidak dipercaya karena ketahuan tidak jujur, tidak sesuai kata dengan perbuatan.

Dalam keadaan bingung dan berusaha mencari kebenaran sebagai pegangan ini dia bertemu dengan “teungku atau ustaz” yang pandai ber-retorika sehingga terasa mampu mengatasi kehausannya. Mereka menyediakan waktu untuk berdialog dan bersedia menjadi pembimbing untuk mempelajari Alquran secara benar dan mudah. Hampir semua orang tua yang menemui saya, yang anaknya masuk Millata Abraham menyatakan bahwa pada mulanya anak mereka mengaku akan belajar tafsir Alquran dan untuk itu minta disediakan kitab Alquran dan terjemahannya. Pada umumnya para orang tua bangga dan bersyukur bahwa anaknya bersedia mengaji dan memepelajari Alquran, bahkan ada yang bersedia memberikan berbagai fasilitas untuk kegiatan tersebut. Tidak ada yang curiga, bahwa anaknya sedang digiring ke arah yang salah.

Saya sendiri mengetahui ingar bingar ini pertama sekali dari orang tua di daerah, yang meminta agar saya bersedia menerima anaknya yang dia duga sudah menyimpang dari paham agama yang umum dianut. Setelah bertemu, ada anak yang memberikan keterangan sama dengan penjelasan orang tuanya, tetapi ada juga anak yang keterangannya berbeda dengan penjelasan orang tuanya. Pada umumnya mereka mengaku tertarik ikut mengaji karena sang guru menjanjikan akan memberikan pemahaman Islam yang benar, dengan metode yang relatif mudah dan tanpa formalitas yang rumit.

Mereka akan memberikan pemahaman dan bimbingan tentang Islam sebagai agama yang mulia dan cara mengangkat dan membantu umat agar menjadi bangsa terhormat dan dihargai, yang sesuai kata dengan perbuatan. Tujuan ini tentu tujuan yang mulia, yang menjadi harapan dan impian hampir semua orang Islam. Tujuan ini menjadikan banyak orang terpengaruh karena memang merupakan tujuan yang baik yang selama ini belum mampu diwujudkan oleh umat Islam. Dari para remaja ini saya mendapat info tentang guru dan kegiatan pengajian mereka yang cenderung menempuh cara diskusi intensif dalam kelompok yang kecil, di tempat yang disukai anak muda seperti kafe.

Yang penulis rasa perlu kita renungkan secara mendalam dari fenomena ini adalah, dorongan awal para mahasiwa pemula yang cerdas, polos dan lugu ini untuk ikut mengaji yaitu kepedulian dan rasa tanggung jawab untuk memajukan Islam, dan rasa muak melihat ketidakjujuran sebagian tokoh dan pemimpin, termasuk sebagian guru dan orang tua. Mereka sangat peduli dan kecewa karena sebagian orang tua dan guru mereka bersifat munafik. Mengajarkan kejujuran, tetapi perilaku mereka, terutama ketika ada kepentingan, menjadi tidak jujur, rela berbohong bahkan ada yang sampai menyogok.

Para remaja ini terjerat karena para guru tersebut menggunakan retorika yang canggih. Jangankan mereka yang masih remaja dan polos; orang dewasa pun sekiranya tidak mempunyai bekal agama yang dalam serta logika yang kuat tidak akan mampu menjawabnya. Mungkin karena frustrasi ada yang berkata bahwa mereka dihipnotis terlebih dahulu. Karena itu saya merenung ketika ada teman berkata bahwa para anak remaja ini adalah korban dari kelalaian dan ketidak-pedulian kita para orang tua, guru, tokoh serta pemimpin yang formal dan tidak formal.

Para remaja ini adalah korban dari kemunafikan dan kebobrokan akhlak yang ada di tengah masyarakat, yang mungkin tidak sanggup lagi mereka tanggungkan. Anak ini harus kita bantu dan kita beri bimbingan. Kita pupuk dan salurkan semangat dan ghirah beragama mereka yang tinggi menggebu ini, agar tetap terjaga, tidak rusak apalagi mati. Jangan hendaknya mereka diberi stigma sebagai orang yang tersesat apalagi murtad. Kalaupun mereka perlu disyahadatkan, cukup sekali saja, jangan sampai dua apalagi tiga kali atau lebih. Setelah itu kita beri fasilitas dan kita beri kesempatan kepada mereka untuk mempelajari Islam secara benar, menggembirakan, membanggakan dan mencerahkan di samping berwawasan luas, santun dan memberikan kenetraman batin.

MPU Provinsi kita harapkan dapat mengkaji dan meneliti kembali ciri dari orang atau kelompok penyebar aliran sesat yang meresahkan ini. Merumuskan dan mengusulkan cara serta kiat yang tepat untuk membendung kegiatan mereka di satu segi, serta cara dan kiat untuk memperluas wawasan masyarakat serta para remaja kita dipihak yang lain, sehingga akan lebih mudah dan lebih cepat mengantisipasi pengajaran yang keliru dan menyesatkan.

Kepada Allah kita berserah diri dan kepada Nya pula kita mohon hidayah dan petunjuk. Wallahu a’alam.


* Al Yasa Abubakar adalah Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Tulisan ini juga telah di muat oleh Harian Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment