Dinar Aceh


Oleh: DR. M. Shabri H. Abd. Majid, M.Ec*-

DILAHIRKAN pada 1964 di Italia dan memeluk Islam ketika di bangku Kuliah di University of Madrid, Professor Dr. Umar Ibrahim Vadillo dikenal sebagai “Pejuang Dinar”. Sejak dua dekade yang lalu, beliau sangat gencar mempromosikan Dinar (mata uang emas) dan Dirham (mata uang perak) untuk kembali digunakan sebagai mata uang Islam.  Hal ini dituangkan dalam beberapa buku yang ditulisnya, seperti “The Fatwa on Paper Money”, “The Return of the Gold Dinar” and “The Esoteric Deviation in Islam”, yang dipublikasikan oleh Madinah Press.

Gagasan untuk kembali menggunakan D&D (untuk seterusnya disingkat dengan D&D) telah mendapat respons positif pemimpin dunia Islam. Mantan Perdana Menteri Turki, Dr. Necmettin Erbakan, Raja Hassan II, Moroko dan Mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir Mohamad memberi dukungan penuh agar umat Islam menggunakan D&D.

Malah ketika Dr. Erbakan dan Raja Hassan memerintah Turki dan Moroko, mereka telah menggunakan D&D sebagai mata uang resmi negara. Dr. Mahathir pun tidak mau ketinggalan. Beliau telah mengajak partner bisnisnya, Iran untuk menggunakan D&D dalam transaksi bilateralnya. Luarbiasanya, kini ada dua Negeri Bagian (red:setingkat Provinsi) di Malaysia yang telah resmi menggunakan D&D, yaitu Negeri Kelantan dan Perak.

Gagasan untuk kembali ke D&D juga turut berembus ke Indonesia. Professor Umar Vadillo pun telah beberapa kali bersilaturrahmi ke Jakarta untuk mempromosikan D&D. Walaupun mendapat respons positif dari pemerintah Indonesia, namun tindakan nyata untuk menggunakan D&D di Indonesia belum nampak. Sejauhmana pula dukungan pemerintahan Aceh untuk kembali ke D&D, sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah? Langkah kebijakan apa saja yang harus dilakukan untuk kembali menggunakan D&D? Apakah pengalaman Negeri Kelantan dan Perak di Malaysia dalam menggunakan D&D dapat kita jadikan referensi?

 Mengapa Harus Dinar?
Belum pulih ingatan kita dari dampak negatif krisis moneter yang melanda Asia 1997, krisis global 2008 yang bersumber di negara Amerika Serikat (AS) kembali menghantui dunia. Efek domino krisis ekonomi turut menghantam ekonomi Indonesia. Krisis valuta asing (Valas) dan perang mata uang pun tidak bisa dielakkan. Untuk menghindari terjadinya krisis silih berganti, para ekonom Muslim memperjuangkan D&D untuk dijadikan mata uang. D&D dapat digunakan sebagai media pertukaran, alat untuk menetapkan harga berbasis emas, menawarkan nilai tukar yang stabil, hingga mampu menciptakan kestabilan harga. Realita ini persis seperti diakui Alan Greenspan (2001), dalam bukunya “Gold and Economic Freedom” sebagai berikut: ‘’...tanpa kehadiran uang standar emas, tidak ada cara untuk memproteksi penyusutan tabungan akibat inflasi”.

Superioritas D&D dibandingkan dengan mata uang kertas dan logam (fiat money) yang kita pakai sekarang, tidak saja diakui para ekonom Islam, malah turut disaluti “Ekonom Kaplat”. Dinar yang di-back up 100% oleh emas (memiliki 100% nilai intrinsik) jelas harganya lebih stabil dibandingkan dengan Euro yang hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar yang sama sekali tidak di-back up oleh emas. Ini terbukti ketika AS menggunakan uang standard emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di negara super power itu menurun drastis menyamai tingkat inflasi ketika uang standard emas digunakan pada tahun 1861.

Imam Ghazali mengatakan, Allah telah menciptakan emas dan perak sebagai pengukur nilai yang sebenarnya. Dalam bukunya, “The Theft of Nation: Returning to Dinar”, Prof. Dr. AKM Meera (2004) menyebutkan bahwa: “emas dapat menawarkan sistem keuangan yang stabil dan adil, menciptakan perekonomian yang adil dan stabil, memiliki daya tahan tinggi, serta tidak menimbulkan inflasi dan pengangguran”. Jelas bahwa akar permasalahan ekonomi dewasa ini adalah karena “fiat money”. Secara aktual, fiat money akan menimbulkan riba sehingga akan menjadi penghalang Muslim untuk merealisasikan “Maqasid Syari’ah”, yaitu untuk memproteksi agama (ad-Din), intelektualitas (al-`Aql), harta-benda (al-Mal), nyawa (an-Nafs) dan keturunan (an-Nasl) dalam sistem moneter fiat berbasis bunga.

Bukti historis juga menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah, harga seekor ayam adalah satu Dirham (sekitar Rp 70.000), dan saat ini setelah lebih dari 1.400 tahun, harga ayam masih berkisar satu Dirham. Begitu pula dengan harga domba yang dulu hingga saat ini masih berkisar satu Dinar (sekitar Rp 1.800.000). Selanjutnya, akibat nilai D&D tidak berubah, maka tindakan spekulatif di pasar valuta asing tidak akan terjadi.

Di samping kebal terhadap inflasi, D&D juga tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga. Dengan kata lain, D&D adalah uang bebas riba. Kestabilan D&D juga akan mempromosikan perdagangan dan menstabilkan sistem moneter. Jelas bahwa penggunaan D&D akan menciptakan kestabilan makro ekonomi. Ekonomi yang stabil akan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Dinar Aceh
Sebenarnya gagasan untuk kembali menggunakan D&D di Aceh bukanlah sesuatu yang baru. Uang emas telah digunakan ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai. Rakyat Pasai menyebut uang emas itu sebagai “Dierham”, di mana semua kegiatan pencetakannya ditentukan oleh Sultan (Baca: T. Ibrahim Alfian. 1979. Mata Uang Emas Kerajaan Aceh). “Dierham” Pasai memiliki berat yang bervariasi antara 0,40 hingga 0,58 gram, bermutu antara 17-18 karat. Di bagian depannya tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir dan di bagian belakangnya tertera ungkapan ‘al-Sultan al-’Adl’. Ungkapan ‘al-Sultan al-’Adl’ yang tertera di sisi mata uang Pasai diilhami Q.S. an-Nahl: 90, “. Allah menyeru berlaku adil dan berbuat kebajikan....”. Ini menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai keadilan ditegakkan dalam sebuah perekonomian.

Agar usaha untuk menegakkan keadilan dan bahkan ‘keihsanan’ ekonomi di kalangan rakyat Aceh, maka pemerintahan Aceh harus mendukung sepenuhnya, komit dan bahkan berani untuk merealisasikan penggunaan D&D di Bumoe Syariat. Kita dapat merujuk pada ke dua Model Dinar Negeri Kelantan dan Negeri Perak di Malaysia. Dari empat belas Negeri Bagian yang ada di Malaysia, dua di antaranya telah resmi meluncurkan sekaligus menggunakan D&D. Tepatnya, pada 2 Ramadhan 1432 (12 Agustus 2010), tercatat dalam sejarah bahwa Kerajaan Kelantan-Darul Naim merupakan Negeri pertama yang meluncurkan mata uang Syariah D&D. Peluncuran itu dilakukan oleh Menteri Besar (red: setingkat Gubernur) YAB Dato’ Hj. Nik Abdul Aziz Nik Mat. Kelantan adalah Negeri Bagian yang berada di bawah kuasa partai oposisi yang berhaluan Islam, Partai Islam Semenanjung (PAS).

Di Kelantan, Menteri Besar mendorong masyarakat untuk memakai D&D dalam transaksi sehari-hari, yaitu sebagai mata uang di samping tetap menggunakan Ringgit Malaysia (RM). Misalnya, untuk pembayaran gaji pegawai, transaksi di pasar rakyat, investasi, alat pembayaran zakat, dan mas kawin.

Begitu juga di Negeri Perak, D&D bukanlah digunakan untuk menggantikan mata uang Ringgit Malaysia. Namun mereka menggunakannya hanya sebagai alternatif investasi dan tabungan, alat pembayaran zakat, dan juga sebagai ungkapan penghargaan terhadap prestasi, hadiah, bukti kasih sayang ketika pernikahan, kelahiran, dan momen kebahagiaan lainnya. Meski agak berbeda, poin penting yang dapat diambil sebagai contoh adalah kedua pemimpin tersebut telah memiliki keberanian dan komitmen untuk menghidupkan kembali D&D di Tanah Melayu, sebagai upaya untuk menghapuskan riba dan menegakkan keadilan ekonomi.

Melihat ke dua model Dinar di atas, mungkin untuk tahap awal penggunaan D&D di Aceh lebih cocok dengan menggunakan Model Dinar Negeri Perak. D&D digunakan di samping mata uang Rupiah. Ianya hanya digunakan dalam transaksi tertentu, seperti membayar zakat, sebagai  alternatif investasi dan tabungan, dan juga sebagai ungkapan penghargaan, bukti kasih sayang, mas kawin, hadiah pernikahan, kelahiran, dan momen kebahagiaan lainnya. Andaikata usaha ini berhasil, maka barulah D&D itu digunakan dalam setiap bentuk transaksi masyarakat Aceh. Sudah tentu, semua ini butuh komitmen dan keberanian pemerintahan Aceh.

* Penulis adalah staf pengajar Ekonomi dan Perbankan Syari’ah pada Fakultas Ekonomi, Unsyiah.
Tulisan ini juga telah di muat oleh Harian Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment