Beragama, Haruskah Sengsara?

Oleh: Ahmad Arif*-

DI MESIR, seorang insinyur muda menceraikan istrinya yang tidak mau menggunakan jilbab. Pada saat yang sama, dia telah menelantarkan kedua anaknya yang masih kecil hanya karena masalah jilbab itu. Sementara di Irak, Afghanistan, Pakistan, ribuan nyawa telah meregang percuma di masjid-masjid, justru saat mereka menunaikan ibadah privat-vertikal. Sedangkan di Indonesia, teror bom semakin merajalela selain berkecambahnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Aceh, sepertinya tak mau ketinggalan; anarkisme menguat atas nama kearifan lokal di samping aliran sesat terus bertambah.

Apa yang sesungguhnya sedang menjangkiti pemuda Mesir itu? Benarkah secara syariat tindakan bom bunuh diri yang kerap terjadi akhir-akhir ini dengan pemuda sebagai martirnya? Mengapa pula aliran sesat tumbuh pesat di daerah yang justru telah mempositivasi syariat? Bukankah tindakan mereka itu hanya menimbulkan kesengsaraan dan petaka semata? Lantas, bukankah cuplikan keberislaman di atas membenarkan asumsi sebagian orang bahwa beragama itu ibarat candu yang hanya menyengsarakan?

Realitas zaman
Pemuda mesir itu, juga para martir bom bunuh diri atau pelaku terorisme dan anarkisme, biasanya bertampang bersih, baik, banyak membaca atau menghafal hadits. Merekalah yang selama ini disebut sebagai kaum reliji atau orang-orang yang kuat semangat keberagamaannya. Mereka merupakan realitas zaman yang tidak terbantahkan sejak fajar Islam menyingsing lima belas abad silam. Hanya saja pelakonnya saja yang berganti seiring dengan bergantinya kurun. Mereka adalah para pemuda yang lebih mengedepankan perasaan, tapi mengenyampingkan pemikiran, memisahkan pengetahuan dari pemahaman dan banyak menghafal, namun sedikit berpikir.

Pada skala yang lebih besar, mereka serupa dengan kelompok yang memandang sinis terhadap orang-orang di luar kelompok mereka, menggunakan ‘tongkat’ dalam upaya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, siap ‘mati syahid’ demi menutup sebuah konser musik, menganggap penghancuran botol-botol minuman keras atau VCD porno sebagai ‘jihad fi sabilillah’, meninggalkan pekerjaan atau kuliah (sekolah), memutuskan silaturahim dengan dalih ‘marah karena Allah’.

Mereka bukan orang jahat, bukan musuh masyarakat ataupun musuh zaman yang harus disingkirkan atau dibawa ke tiang gantungan sebagaimana yang diserukan oleh sekelompok orang yang mengaku cendikiawan muslim tapi berpikir dan bertindak laiknya kaum liberal (diabolis), bahkan terkadang lebih liberal daripada paham liberal asli sekalipun yang membenci Islam dan muslimin.

Khawarijisme Modern
Jika ditelusuri kitab-kitab sirah, maka akan didapatkan kemiripan mereka dengan kaum khawarij yang disebut kaum puritan Islam pertama. Buku-buku klasik maupun kontemporer sering menukil cerita tentang kegemaran khawarijisme beribadah. Syaikh Muhammad Abu Zahrah, misalnya, dalam Tarikh al madzahib al islamiyah mengatakan, “Demi Allah, mereka adalah anak-anak muda yang telah bersikap bak orang tua. Mata mereka tidak mau menatap kejahatan, kaki mereka tidak mau melangkah kepada kebatilan dan badan mereka kurus kering karena terlalu sering beribadah dan bergadang. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang surga mereka menangis karena merindukannya. Dan, setiap kali membaca ayat-ayat tentang neraka, sedu sedan keluar dari tenggorokan, seolah mereka telah benar-benar mendengar deru api neraka” (Huwaidi; 1988).

Tetapi di siang hari, bak singa kelaparan yang siap menerkam siapa saja yang bersbeda dengan mereka. Bahkan perlakuan keras mereka itu lelih keras daripada perlakuan mereka terhadap orang-orang kafir. Begitu kejamnya mereka hingga mencapai level takfir (mengkafirkan) muslim dari kelompok lain. Tidak menaruh belas kasihan kepada wanita, anak kecil, hatta orang tua sekalipun. Inilah yang menjangkiti pemuda mesir di atas, juga para martir bom bunuh diri di berbagai belahan dunia Islam kecuali di Palestina, gerakan Negara Islam Indonesia (NII) atau para kaum reliji lainnya. Mereka merupakan tamsilan khawarijisme modern di abad 21.

Kerancuan yang menghancurkan
Khawarijisme, baik dulu maupun modern, merupakan bukti nyata betapa kerancuan dalam memahami agama ini berakibat fatal dan menghancurkan sendi-sendi peradaban gemilang yang telah dibangun oleh Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya yang mulia. Akibat tindakan mereka, agama ini diobok-obok, baik oleh para diabolis muslim, terlebih lagi pihak-pihak tertentu yang memang sangat membenci islam.

Iman yang rancu bukanlah fenomena baru dan lahir di masyarakat kita saja, tetapi fenomena klasik yang terjadi di kalangan muslim maupun nonmuslim. Catatan tentang keimanan yang rancu dipenuhi pelbagai tidakan bodoh dan kejam, baik di abad pertengahan maupun di abad modern. Misalnya, peperangan keji di antara katolik dan protestan, kekejaman inkuisisi demi memurnikan akidah dari kesesatan, Guillotin dilakukan Yakobian pascarevolusi Perancis demi mempertahankan kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Juga tinta hitam sejarah yang ditorehkan kaum muda Garda Merah di Cina atas nama revolusi kebudayaan.

Yang perlu ditegaskan, iman yang rancu atau buta bukanlah karakteristik bangsa tertentu yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Bahwa para pemilik niat baik yang dengan lantang meneriakkan kebajikan, justru seringkali melumuri tangan mereka dengan darah manusia pada saat mereka menyangka sedang melakukan kebajikan.

Untuk melerai kerancuan iman (beragama) yang membawa kesengsaraan dan petaka tersebut, solusinya tak lain adalah kembali ke pemahaman Islam yang sejatinya memoderasi dua esktemitas yang saling bertolak belakang; ifrath (pragmatis-diabolis) versus tafrith (khawarijisme moderen). Nah, untuk mewujudkan pemahaman moderat dimaksud, aktivitas dakwah itu harus bersinergi baik di gampong, di kampus maupun di kantor. Menegakkan kejujuran, tidak hanya di ruang-ruang bersekat tempat berasyik masyuk melakukan penghambaan privat-vertikal, tapi juga dalam interaksi social-horizontal.

Sebagai penutup, umara dan ulama serta komunitas masyarakat madani (civil society) dituntut untuk mengajarkan peradaban kepada orang kebanyakan dengan pemahaman dan pengejawantahan lima karakter aksiomatik Islam; nir-eksesifisme (berlebih-lebihan atau menambah-nambahi), tidak pula mereduksi, non-distorsif, proporsional, totalitas saling melengkapi. Itulah yang dapat mempersempit ruang bagi khawarijisme yang selalu ada di setiap masa untuk menistakan agama dan menyengsarakan pemeluknya. Wallahu a’lam

* Ahmad Arif adalah peminat kajian social keagamaan, alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 komentar:

Post a Comment