Studi dan Dialog Antar Agama

Written by Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam

Dalam sebuah artikelnya yang berjudul The Development and Role Religious Studies: Some Indonesian Reflections, Haidar Bagir dan Irwan Abdullah mencoba menjelaskan hal ihwal mengenai studi perbandingan agama di Indonesia, secara institusional diawali oleh gagasan Mukti Ali. Mukti Ali melakukannya di IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN) Jogjakarta  dengan mendirikan jurusan perbandingan agama. Inisiatif yang kemudian diikuti oleh IAIN lainnya di Indonesia. Keberadaan jurusan perbandingan agama diakui telah memberikan basis kepada tradisi dialog antar agama di Indonesia. Dan sebagai lembaga awal yang menginisiasi studi antar agama di Indonesia, kini UIN Sunan Kalijaga telah mengubah orientasi metodelogi dari kajian normatif ke historis, dengan melakukan penekanan terhadap studi sosial empiris.

Pendekatan historis, empiris dan juga kritis ini dianggap mampu untuk mendamaikan truth-claim, yang datang dari pendekatan metafisis dan psikologis terhadap agama (Abdullah, 1999). Contoh pendekatan tersebut bisa dilihat dari penelitian tentang Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita (Mudzar, 1998), dimana penelitian tersebut berupaya memahami tentang konflik dan integrasi sosial yang awalnya ditimbulkan oleh perbedaan agama.

Dalam artikel yang sama juga dijelaskan bahwa keberadaan studi agama kemudian juga diikuti juga oleh universitas Kristen, dimana pada tahun 1990-an sudah memulai studi agama tanpa pendekatan doktrinal, sebagai sebuah pendekatan yang membedakan dengan studi teologi yang memang sudah berdiri sebelumnya. Peranan Universitas-universitas yang berbasis Kristen, seperti Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Kristen Satya Wacana dan Universitas Sanata Dharma dalam membangun studi agama juga dapat dilihat secara signifikan, sebab keberadaanya mampu menjembatani pemahaman antar agama. Hal ini dapat dilihat dengan penerbitan buku Memahami Kebenaran Yang Lain; Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Besrama (Hendri Wijayasih, et al, 2010). Buku yang merupakan persembahan untuk Pdt. Djaka Sutapa, Th.D dan keberlangsungan Pusat Studi Agama-Agama (PSAA) ini disusun secara simpatik dan ditulis oleh para sarjana baik muslim maupun Kristen.

Pendekatan secara intelektual tersebut kemudian dipercaya menjadi fondasi dalam membangun dialog antar agama di di Indonesia. Ini bisa dilihat dari usaha untuk memahami pengalaman dari masing-masing agama melalui cara pandang out-sider. Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisan yang terdapat dalam buku di atas. Diantaranya dari Dr. Hamim Ilyas, MA dan Aris Fauzan, MA mengenai Islam-Kristen Indonesia; Menegakkan Payung Ibrahi., Atau juga bisa dibaca dari tulisan Prof. Dr. Waristo Utomo yang berupaya memahami tentang tema politik yang sensitif dalam kalangan muslim Indonesia mengenai hubungan negara dan agama melalui tulisan Sikap Kekristenan Terhadap Ide Pendirian Negara Islam. Selain dengan penerbitan buku, kampus-kampus Kristen itu juga dalam menyelenggarakan kuliah tentang agama-agama mengundang pengajar dari muslim. Trend ini tentu positif untuk mampu membangun sebuah situasi yang simpatik dalam studi agama.

Kondisi tersebut tentu menunjukkan bahwa betapa pengalaman dewasa ini memang telah menunjukkan gejala yang mengembirakan, sebab para pemuka agama, cendekiawan, pemerintah, LSM dan universitas secara aktif mengambil peran dan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap terbangunnya relasi yang positif dan konstruktif antar umat beragama.  Namun demikian, hal tersebut masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang rumit karena hal demikian ternyata belum menyentuh lapisan masyarakat akar rumput, yang di mana di sanalah sering  terjadi gesekan akibat belum terbangunnya pemahaman yang baik mengenai hidup berdampingan dengan yang berbeda.

Beberapa kekerasan atas motif dan sensitifitas keagamaan masih juga belum hilang dari lingkungan sekitar kita. Atas klaim kelompok lain sesat, maka kekerasan dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk menghalau ’kesesatan’ itu. Kondisi ini tentu memprihatinkan, agama yang seharusnya menjadi poros utama dari nilai-nilai kebajikan, malah menjadi alat untuk melegitimasi kekerasan.

Kita percaya, bahwa dengan hadirnya studi perbandingan agama, maka diharapkan diialog antar agama akan menjadi lebih konstruktif. Hal ini penting untuk dilakukan, sebab dialog tidak saja membuat hubungan keduanya menjadi produktif dan harmonis, namun juga bisa menyelesaikan tantangan lain yang juga dihadapi adalah semakin menguatnya fundamentalisme, kekerasan dan esklusfisme di kalangan umat beragama dewasa ini, sesuatu hal yang tentu saja ditolak oleh kaum beragama yang moderat, sebab hal tersebut bukanlah esensi dari keberagamaan dan bisa menganggu hubungan hubungan antar dan intra agama di Indonesia.

Dengan demikian, dialog antar agama, dan juga intra, haruslah didorong oleh segenap pihak, dengan berupaya untuk saling memahami keberagamaan yang berbeda serta membicarakan solusi-solusi yang dimiliki agama dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka menjadi tugas utama kelompok intelektual adalah harus terus merawat dengan baik hubungan antar agama dengan mengantarkan kita secara serius menyusun formula-formula toleransi yang bijak dan kuat melalui pijakan teologis dan sosio-historis.Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam.

Artikel ini dikutip dari Aceh Institute

http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=504:studi-dan-dialog-antar-agama&catid=74:paradigma-islam

0 komentar:

Post a Comment