Mahar ala Adat Versus ala Islam

Oleh:  Sarah Larasati Mantovani | Peminat masalah Hukum Adat dan Mahasiswi Hukum Jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Pamulang-Banten | jilbabkujiwaku@yahoo.com |

Sekitar seminggu yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan kawan Aceh saya via FB tentang mahar adat Aceh. Menurut penuturan kawan saya, Pria Aceh sangat menghargai wanita, saking menghargainya maka mahar perkawinan Aceh ditentukan oleh Mayam. Mayam adalah sejenis ukuran/timbangan untuk mengukur volume emas di Aceh. Mahar yang sudah ditentukan pun harganya bisa (sangat) mahal. 1 mayam=3 gram, atau 10 mayam bisa mencapai 10 juta (atau tergantung berapa harga emas sekarang). Karena mahalnya mahar tersebut, makanya ada slogan yang terkenal di sana, kalau “Jodoh di tangan WH/Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’at)”, sebab kalau Pria dan Wanita yang tertangkap basah sedang berbuat mesum di sana langsung di nikahkan dan maharnya tak semahal menikah yang direncanakan, paling hanya 2 mayam.

Tiba-tiba saja, saya jadi teringat dengan sebuah tulisan yang pernah saya baca tentang mahar adat Flores di koran KOMPAS (saya lupa tanggal berapa). Sama halnya dengan Aceh, mahar berupa gading gajah tersebut sangat mahal harganya, tak tanggung-tanggung harganya sekitar 10-15 juta, malah ada yang mencapai hingga ratusan juta untuk 1 gading gajah yang panjang. Gading gajah tersebut menjadi mahal disebabkan karena kelangkaannya (mungkin gading gajah tersebut juga bisa disebut sebagai fosil). Toko-toko yang menjual gading gajah di Flores pun juga tak banyak. Makanya, bagi Pria Flores yang ingin menikah tapi tak bisa membeli gading gajah secara lunas bisa membayarnya dengan cara mencicil atau jika tak bisa membayar gading gajah sampai lunas saudara perempuan dari si calon Pria dipekerjakan oleh keluarga si calon wanita apabila sudah menikah nanti dan biaya mahar gading gajah yang tak lunas tersebut bisa di bebankan pada anak-cucunya si Pria Flores yang menikah tadi.
Lain halnya dengan Padang, dalam adat Padang (terutama Padang Pariaman) ada yang namanya uang hilang (atau uang bajapuik). Biasanya yang memberikan uang hilang ini adalah si calon istri dan keluarganya, uang ini juga merupakan beban yang harus ditanggung oleh orang tua pihak perempuan. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik seiring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis -- siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya -- asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. (lihat tulisan Candra, Uang Jemputan dalam Adat Pariaman, November 2009, http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/uang-jemputan-dalam-adat-pariaman/)
Baik mahar Emas di Aceh, mahar gading gajah di Flores ataupun uang hilang di Padang tadi, tapi yang jelas di dalam Syari’at Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar, namun ia mendorong agar memperingan mahar dan tidak terlalu tinggi demi mempermudah urusan pernikahan, sehingga generasi muda-seperti kita-kita tidak merasa berat untuk melaksanakan pernikahan karena mahar yang mahal.
Berikut ini ada hadits yang menggambarkan bahwa cukup dengan hafalan al-Qur’an saja seorang sahabat Rasulullah saw. sudah bisa menikah:
Dari Sahl bin Sa’id radhiyallahu’anhu ia berkata, “Ketika kami berada di tengah-tengah para sahabat di dekat Radulullah saw. Tiba-tiba ada seorang perempuan berdiri, lalu menyatakan ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (seorang perempuan) menghibahkan diri kepadamu, maka bagaimana pendapatmu tentangnya.’ Kemudian bangun (lagi) kedua kalinya, lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia benar-benar menghibahkan diri kepadamu maka lihatlah bagaimana pendapatmu.’ Kemudian bangunglah ia untuk ketiga kalinya, lantas berujar, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ia telah menghibahkan diri kepadamu maka perhatikanlah ia bagaimana pendapatmu.’ Maka bangunlah seorang sahabat, lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya. Kemudian Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai barang sebagai mahar?’, jawabnya, ‘Belum’. Maka, sabda Beliau, ‘Pergilah mencari walaupun sekedar cincin yang terbuat dari besi’. Maka dia pergi mencarinya. Kemudian datang, lalu berkata (kepada Beliau), ‘Aku tidak mendapatkan apa-apa, walaupun sekedar cincin dari besi,’ sabda Beliau selanjutnya, ‘Apakah engkau punya hafalan al-Qur’an?’, dia menjawab, ‘Saya hafal surah ini dan surah ini,’ Sabda Beliau (lagi), ‘Pergilah, sungguh saya telah nikahkan kamu dengannya, dengan mahar hafalan Qur’anmu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari, IX: 205 no: 5149 dan ini lafazh bagi Imam Bukhari , Muslim II: 1040 no: 1425, ‘Aunul Ma’bud VI: 143 no: 2097, Tirmidzi II: 290 no: 1121, Ibnu Majah I: 608 no: 1889 secara ringkas dan Nasa’i VI: 123). (‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz: Ensiklopedi Fiqh Islam dalam al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah, Pustaka as-Sunnah, Jakarta, 2008, hlm. 547).
Terlepas dari wajib atau tidaknya mahar ala adat tersebut tapi alangkah baiknya jika kita sungguh-sungguh memperhatikan hadits diatas. Bahwa jangan sampai mahar ala adat yang telah ditetapkan menghalangi niat suci kita untuk menikah. Lagi pula, besar atau mahalnya mahar ala adat tidak menentukan pernikahan seseorang samara atau tidak. Yang penting adalah kita sudah siap lahir batin untuk menaiki bahtera rumah tangga dan mengarungi lautan kehidupan baru didalamnya.
Kalau muda-mudi yang akan menikah keberatan dengan mahar yang sudah ditentukan oleh adatnya, lebih baik pilih saja mahar ala Islam. Mahar ala Islam lebih mudah, ringan dan tidak menetapkan ukuran tertentu untuk menikah. Sebab, Islam memang diciptakan sebagai agama yang mudah. Sarah Larasati Mantovani | Peminat masalah Hukum Adat dan Mahasiswi Hukum Jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Pamulang-Banten | jilbabkujiwaku@yahoo.com
Tulisan ini dikutip dari Aceh Institute. URL: http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=499:mahar-ala-adat-versus-ala-islam&catid=74:paradigma-islam

Siapa Mau Calon Independen?

Sejarah Turunnya, Penulisan dan Pemeliharan Al-Qur`an

Oleh: Hengki Firmanda, SH, Abdullah Sahroni, S.Fil.I., dan H. Aang Asy`ari, Lc.


Al-Quran merupakan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syari’ah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Permulaan turunnya Al-Quran adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke 40 kelahiran nabi Muhammad SAW. Ketika beliau sedang ber-tahannus (beribadah) di Gua Hira. Pada saat itu turunlah wahyu dengan perantaraan Jibril Al-Amin dengan membawa beberapa ayat Al-Qur`an. Materi Selengkapnya DOWNLOAD

Al-Qur`an dan Wahyu

Oleh: Diah Arminingsih, IRFAN NURUDIN dan RISKA YULIASTUTI.

Al-Quran merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi manusia. Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an adalah: “Kalam Allah SWT merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah. Materi Selengkapnya DOWNLOAD

Gagasan Tentang Masyarakat Global

Jalur Independen? Hati-hati !

Menyoal (Lagi) Ajaran Sesat

Gagasan Tentang Masyarakat Global

Jalur Independen? Hati-hati !

Pelestarian Hutan Mutlak untuk Masa Depan Bumi

MENGKRITIK KURIKULUM IAIN

MENGKRITIK KURIKULUM IAIN
Oleh: Tabrani. ZA

Selama ini kajian yang berkembang di IAIN sebagai mana tercermin dalam fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang ada, hanya terbatas pada pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam yang terkait langsung dengan itba` syariah Allah. Pengembangan semacam itu ternyata telah mendapat kritik, yaitu pada paradigma yang mendasari IAIN dewasa ini dianggap kurang relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi satu sektor tertentu dalam kehidupan Islam di Indonesia, yaitu memenuhi kebutuhan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi mengenai agama Islam. Dengan demikian IAIN lebih mengabadikan paham dualisme atau dikotomi pendidikan, dan melahirkan over specialization, bahkan terjadi isolasi akademik. Di samping itu IAIN dengan paradigmanya sekarang dipandang tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga IAIN di tuntut untuk dapat melahirkan manusia-manusia yang menguasai IPTEK dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama (Islam), yang hal ini merupakan pilar-pilar dari masyarakat madani abad 21.
Kritik tersebut menggaris bawahi perlunya IAIN pada dataran operasional dibangun agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan seluruh bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dengan kata lain, agar lulusan IAIN mampu berkiprah dalam forum mana pun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas fardhu kifayah yang meliputi penyiapan calon-calon ulama, teknolog, psikolog, budayawan atau sastrawan, ekonom, sosiolog, saintis dan lain-lainnya yang perspektif Islam. Jangan hanya dapat mengucapkan masya Allah ketika terkagum dengan temuan IPTEK, atau mengucapkan astagfirullah ketika temuan IPTEK membuat malapetaka.
Pengembangan program studi - program studi umum di IAIN merupakan perwujudan dari rasa tanggung jawabnya untuk menyiapkan calon-calon sarjana atau tenaga kependidikan yang memiliki komitmen akademis-religius atau personal dan profesional religius.
Kalau kita melihat sejarah, bahwa aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan perguruan tinggi Islam pada mulanya di dorong oleh beberapa tujuan. Pertama, untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah. Kedua, untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Ketiga, untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya.
Kehadiran IAIN diharapkan mampu menjadi pelopor dalam penciptaan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, dalam arti mampu membentuk manusia yang memiliki kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan pribadi mengandung maksud seorang muslim yang baik, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya sekaligus meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan kesalehan sosial mengandung makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosialnya dan sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT.
Di samping itu menurut analisis para ahli (Tilaar, 2000) bahwa ada beberapa kekuatan global yang hendak membentuk manusia masa depan, yaitu (1) kemajuan IPTEK dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia (2) perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan IPTEK (3) kerja sama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan berusaha dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas negara, dan (4) meningkatkan kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi.
Berbagai kekuatan global tersebut menggarisbawahi perlunya IAIN untuk menyiapkan calon lulusan yang unggul dalam IPTEK, produktif dan kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran hak dan kewajibannya dalam alam demokratis dan sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT.
Untuk mengantisipasi berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan reorientasi pengembangan kurikulum IAIN dengan bertolak dari pandangan dasar bahwa IAIN sebagai perguruan tinggi Islam mengemban misi sebagai lembaga pengembangan keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman, sekaligus sebagai lembaga keagamaan yang berusaha membangun sikap dan perilaku beragama yang loyal, memiliki komitmen terhadap Islam, serta penuh dedikasi terhadap agama yang diyakini kebenarannya, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimiliki, dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama yang dinamis. Kemudian IAIN sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau profesional, mengemban misi untuk menyiapkan calon-calon lulusan yang mampu mengintegrasikan “kepribadian ulama” dengan “intelektualitas-akademik dan atau profesionalitasnya” dan mengintegrasikan “profesionalitas dan atau intelektualitas-akademik” dengan “kepribadian ulama” sesuai dengan bidang keahlian atau konsentrasi studi yang ditekuni, yang diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global.
Selanjutnya Kita berharap IAIN Ar-Raniry Aceh dan IAIN lainnya sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional agar bisa berupaya menyiapkan calon lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional untuk membangun peradaban Islam yang lebih maju ke depan, Amiin.
DOWNOAD FILE

Menggugah Kesadaran Sejarah

Menagih Kepedulian Sejarah

Politik Sang Pemberontak

Mengembangkan Pendidikan Dayah

MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN DAYAH
Oleh: Tabrani. ZA

Islam Aceh nyaris identik dengan Islam dayah; Islam sejarah yang diupayakan berdasar pada sumber otentik melalui khazanah intelektual dan keilmuan Islam klasik. Melalui sumber itu, Islam kemudian dimaknai, diinterpretasikan, dan dekontekstualisasikan ke dalam lokalitas konkret dan waktu yang terus berjalan.
Visi dan misi Islam semacam itu ditubuhkan dalam pendidikan yang dikembangkan dayah. Pada sisi ini sumbangsih dayah bagi Islam dan Aceh sama sekali tidak dapat diabaikan. Namun fenomena kekinian memperlihatkan, dayah kurang memiliki kemampuan yang memadai dalam menangkap realitas yang berkembang dalam masyarakat. Dayah, misalnya, terkesan agak lamban dalam merespons perkembangan yang terjadi. Selain itu, sistem pendidikannya agak bersifat sporadis, dan belum dikembangkan secara utuh. Karena itu, akibat paling tampak dalam adalah kurang berperannya dayah saat ini dalam pengenalan dan penyebarluasan Islam yang lebih kontekstual dan dalam pengembangan masyarakat yang benar-benar mandiri dan berperadaban.
Kenyataan itu menuntut dayah untuk mengembangkan sistem pendidikannya secara lebih arif. Dalam bahasa lain, dayah dituntut untuk melakukan reformulasi pendidikan yang saat ini sedang berjalan.
Sebagai langkah awal, pola dan sistem pendidikan dayah hendaknya dirumuskan dalam suatu kurikulum yang benar-benar viable, tanggap terhadap segala perubahan dan kebutuhan riil masyarakat, tapi sekaligus tetap mencerminkan jati diri dayah yang hakiki. Pada saat yang sama kebijakan atau implementasi konkret yang mencerminkan hal tersebut merupakan aspek yang sama sekali tidak dapat diabaikan.
Dalam kerangka itu, kesiapan dayah untuk menilai diri sendiri secara kritis serta jauh dari sikap apologetik menjadi suatu keniscayaan yang perlu dilakukan. Dayah harus berani mempertanyakan kekurangan dan kelemahan yang dialaminya selama ini. Misalnya, apakah pola kebijakan pendidikan yang dikembangkan selama ini telah benar-benar diarahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, berpijak pada nilai-nilai substansial agama Demikian pula apakah pendidikannya telah mengemban misi dayah yang seutuhnya, yaitu pengembangan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam. Dari telaah itu kemudian dikembangkan suatu rumusan kurikulum dan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang ada.
Melalui telaah diri dan perumusan kebijakan itu, lembaga pendidikan Islam itu diharapkan mampu memberikan sumbangan yang lebih berarti dalam mengantarkan masyarakat dan anak didik sebagai generasi penerus yang memiliki wawasan Islam yang luas serta kepedulian yang besar untuk ikut berdarma bakti secara aktif dan signifikan kepada negara, masyarakat dan bangsa.
Pada saat yang sama, dayah dituntut pula untuk “melihat ulang” pola dan substansi dakwah yang dilakukan kepada masyarakat luas. Dayah hendaknya meletakkan aspek kegiatan itu secara padu, sistematis dan interdependensi dengan pendidikan dayah secara keseluruhan. Melalui pola itu, aktivitas tersebut diharapkan tidak terkesan sekadar kegiatan sampingan, atau aktivitas yang “dilepas liar” dari sistem pendidikan dayah. Bersamaan dengan itu, lembaga pendidikan agama Islam ini perlu menekankan dakwahnya pada pengembangan kesadaran masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka, khususnya dalam konteks kedudukan mereka sebagai warga negara.
Hasil dari pengembangan pendidikan dalam kerangka dan pola semacam itu diharapkan akan menghindarkan dayah dari inertia, dan semacam sikap “kepanikan”, serta sekaligus terlepas dari sikap overprotected yang tampak begitu kental pada sebagian dayah. Sebaliknya, hal itu akan memunculkan suatu kebijakan dan tindakan yang berkesinambungan, terbuka, dan responsif. Semua itu dilakukan dengan tetap didasarkan pada anutan yang telah menjadi keyakinan dayah.
Semua upaya itu diharapkan akan berdampak positif bukan hanya bagi dayah semata, tapi juga bagi masyarakat luas. Melalui upaya yang tidak kenal henti untuk selalu meningkatkan kemampuan tersebut, dayah diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi bangsa Aceh, terutama dalam mengembangkan Islam lokal yang berkomitmen kokoh bagi pelestarian Bangsa Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Juga enlighting dan transformatif bagi penguatan dan pengembangan masyarakat sipil yang religius dan berperadaban.
Download

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MODERN


REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MODERN
Oleh: Tabrani. ZA

Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi semata.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandinginya. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumlah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional.
Namun realitas membuktikan lain, jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak memiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Ini terbukti dengan banyaknya para koruptor yang berkeliaran di Indoneisa. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis-bukan hanya orasi belaka-memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin.
Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat “amburadul” dan tidak “karu-karuan”.
Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam dari tahun ke tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui pendidikan, ada yang dengan sistem klasik dan ada yang modern.
Walaupun jalan yang ditempuh oleh kedua organisasi ini dalam mengembangkan pendidikan Islam berbeda, akan tetapi tetap tujuan utamanya sama, yaitu sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang di Indonesia melalui cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan. Sekarang kita melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode atau jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda tersebut sekarang bisa mengarah pada persatuan dan menimbulkan kesadaran pada masing-masing pihak?
Kita lihat sekarang Muhammadiyah yang pada mulanya tidak terlalu berkecimpung dalam dunia Dayah/Pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya bahkan sudah banyak pesantren-pesantren yang didirikan Muahammadiyah. Kesadaran ini muncul setelah nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan dengan “krisis ulama”. Adapun NU yang pada mulanya banyak mencurahkan perhatiannya terhadap dunia Dayah/Pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, sekarang sudah mulai sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern dan mengikuti perkembangan zaman, apalagi di era yang teknologinya serba canggih. Realitas saat ini, keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional saat ini tentu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan Islam. Walaupun pada dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan yang signifikan juga dibanding dengan kondisi pendidikan Islam sebelumnya yang berlaku di Indonesia.
Praktek pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual, model pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan intelektualisme verbalistik dan mengenyampingkan urgensi interactive education and communication antara guru dan murid, orientasi pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan insan sebagai abdun (hamba) bukan pada fitrahnya sebagai khalifah di bumi.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka pendidikan Islam dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan Islam akan buntu.
Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan Islam terus berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional (dayah/pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan dayah/pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga originalitas ulama. Sedangkan pendidikan Islam modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhah ‘alal qadimis saleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)”.
Selain itu juga perlu adanya rekonstruksi metode atau model pembelajaran yang digunakan di dalam pendidikan Islam. Ini diharapkan dapat mengikuti tuntutan anak modern yang selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak zaman dahulu yang cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan guru. Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah.
Saat ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka memegang peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah yang menyebutkan bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini adalah sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun pergiliran ini terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai dengan sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan Amerika dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah sains.
Oleh karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus berputar hingga suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi di atas dengan cara memadukan Islam dan sains melalui sistem pendidikan. Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem yang lebih baik dari sekarang. Dan perlu di ingat, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuai kaum itu yang merubah keadaannya sendiri.
Sekali lagi, Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Oleh sebab itu marilah kita melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas dalam percaturan sejarah nasional? Marilah kita bersatu, baik dari kalangan Dayah yang belajar di Dayah maupun dari kalangan akademisi yang di perguruan tinggi dan Universitas. Penulis mengajak semua intelektual Aceh khususnya dan Indonesia umumnya untuk bersatu dan bersama membangun warisan bangsa ini, jangan hanya cuma bisa berkoar-koar dan berpangku tangan saja, jangan sampai kita umat Islam terpecah-belah satu sama lainnya.

Politik Identitas

Hakimis: Kesamaan antara Wahaby dan Khawarij

Hakimis: Kesamaan antara Wahaby dan Khawarij: "Persamaan Wahabi dan Khawarij Tidak semua kelompok Wahabi (Salafi) rela jika disebut Wahabi, walaupun mereka semua sepakat untuk menjadik..."

Internasionalisasi Sejarah Aceh