DAYAH DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL

Oleh: Tgk. Tabrani. ZA. S.Pd.I

Rasanya sulit, atau bahkan mustahil, mengkaji suatu permasalahan tanpa didahului oleh pengetahuan dan asumsi dasar tentang permasalahan yang akan dikaji tersebut. Meskipun Weber pernah mengkaji problematika fenomena keberagamaan dengan klaim bahwa ia tidak perlu mulai dari definisi agama karena agama akan terdefinisikan dengan sendirinya setelah usai dilakukan pengamatan terhadap gejala-gejala keberagamaan dalam masyarakat, namun secara objektif sulit menerima argumen Weber tersebut. Karena pada taraf yang paling awal, ketika ia mengamati gejala-gejala kehidupan keagamaan maka sesungguhnya dalam alam bawah sadar ia telah memiliki persepsi dan konsepsi tentang agama itu sendiri, seberapun sederhananya. Demikian halnya dengan perbincangan soal Dayah. Kita akan terjebak dalam konflik tidak berpenghabisan manakala tidak ada kesamaan persepsi tentang ontologi Dayah tersebut.
Secara sederhana, fenomenologi merupakan sebuah metode (manhaj) untuk menemukan hakikat suatu objek kajian. Urgensi dari metode ini bersumber dari kenyataan bahwa suatu kajian sering mengalami kegagalan secara ilmiah/akademik karena “dijerumuskan” oleh sistem pengetahuan yang telah mapan dan tidak pernah dipertanyakan ulang. Cara kerja operasional metode fenomenologi adalah dengan apa yang disebut dengan epoche, yaitu segala bentuk penilaian yang telah dikonsepsikan sebelumnya harus ditunda lebih dahulu atau diletakkan dalam tanda kurung sehingga sampai pada titik fenomen yang paling fundamental dan tidak dapat dikurung lagi. Maka fenomenologi adalah metode pengkajian yang berorientasi pada penemuan fundamental struktur dari suatu objek.
Jika menelusuri kondisi Dayah dengan sekian banyak dan kompleks varian dan dinamikanya, baik secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaannya, maka Dayah secara isthilah (epistemologis) sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya abu chik, santri, maupun masjid. Karena konsepsi dasar dari kategori Abu Chik dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretable. Selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu objek merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Maka dalam wacana fenomenologi, Dayah sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, maka orientasi gerak dan pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di Dayah adalah tidak lebih dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang islami.

Disorientasi dan Keniscayaan Reorientasi Pengembangan Pergerakan Dayah
Berguru pada filosofi tindakan Tuhan memberikan mu’jizat kepada rasul-Nya yang relevan dan up to date dengan permasalahan kemanusiaan pada masanya, maka demikianlah seharusnya Dayah membekali dirinya dalam proses pengembangannya. Akselerasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial di era global sekarang ini terjadi secara luar biasa dan di luar perkiraan banyak orang. Yang menjadi sebuah ironis adalah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan spektakuler di bidang teknologi kecerdasan buatan (intellegencia artificial) itu ternyata juga berakibat pada perubahan tata nilai keagamaan dan sosial. Secara rinci, Kehidupan global saat ini ditandai oleh 4 hal : 1. Kemajuan IPTEK 2. Perdagangan bebas 3. Kerjasama regional dan internasional yang mengikis sekat-sekat ideologis 4. Meningkatnya kesadaran HAM Maka untuk mengantisipasi perubahan tata nilai baru dalam era global tersebut, UNESCO, misalnya, telah mencanangkan 4 pilar belajar, yaitu learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Itulah kondisi makro yang sekarang ini sedang menghimpit dunia Dayah. Apakah Dayah sekarang sudah berpikir tentang apa yang bisa diperbuat di tengah atmosfir kehidupan global seperti itu serta apa konstribusi yang bisa disumbangkan untuk turut andil dalam membentuk kepribadian bangsa. Atau bahkan apakah Dayah bisa bertahan di tengah hegemoni produk-produk pemikiran dan tata nilai hidup globalisasi. Jika Nabi Ibrahim harus membekali diri dengan kekuatan argumentasi pemikiran, hal itu dimaksudkan untuk melayani dan mengimbangi masyarakatnya yang memiliki tradisi berpikir yang kuat, Nabi Musa dengan kemampuan magic karena kaumnya gemar dalam perdukunan, Nabi Isa dengan keahlian pengobatan karena kecenderungan umatnya pada dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad dengan kemampuan sastra karena orang Arab punya kelebihan dalam tata bahasa, maka apakah Dayah akan tetap menggunakan mu’jizat yang pernah digunakan menghadapi dan menyelesaikan problematika masyarakat pada era 60—70-an untuk menyelesaiakan problematika sosial-budaya era global/tahun 2010 ini?
Dayah perlu melakukan reorientasi pada misi dan visi pendidikannya sehingga pergerakan Dayah akan lebih membumi. Di era penjajahan, Dayah di berbagai daerah menjadi basis pergerakan melawan kolonialisme. Para Abu Chik, kiyai, ulama’ seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro mempelopori perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun ketika perlawanan fisik ini dirasa gagal, mereka mengalihkan perlawanan tersebut ke bidang pendidikan dengan membuat sistem pendidikan sendiri. Lalu, apakah Dayah saat ini telah memiliki peran signifikan seperti yang pernah dimilikinya pada era penjajahan dan era 60-70-an ???. Persoalan krusial yang dihadapi masyarakat saat ini adalah lemahnya integritas moral, baik di tingkat masyarakat kelas menengah-atas maupun di kalangan grassroot. Indikator dari problem ini terlihat dari “budaya” korupsi yang seolah sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, maraknya tayangan pornografi di televisi, majalah, koran dan media cetak lainnya. Ada yang menyebut bahwa Indonesia saat ini merupakan surga pornografi kedua setelah Rusia. Sementara diketahui secara umum bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam situasi kenyataan seperti ini, apa yang bisa diperbuat Dayah? Ironinya lagi, artis yang saat ini menjadi icon gerakan porno/sensualitas justru lahir dari kota Dayah, daerah yang bersyariat Islam, Aceh (Cut Tari).
Saat ini Dayah justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Dayah dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan “tunggangan” untuk kepentingan politik. Ini bisa terjadi bahkan sudah terjadi, karena Dayah tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam konstelasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Dayah saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya. Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti sekarang ini, Dayah tampak tidak memiliki sense of crisis sama sekali.
Maka tidak mengherankan jika fungsi Dayah saat ini secara faktual sudah tergantikan oleh lembaga/institusi yang lahir justru dari kalangan akademisi/kampus (lembaga pendidikan yang diidentikkan dengan sekuler). Atas dasar itulah maka Dayah perlu melakukan reorientasi gerak pengajaran dan pendidikan, serta perlu mulai mengkaji pendekatan baru dalam sistem pendidikannya.
Religiusitas (religiousity, bukan religion = agama) sebagai Orientasi Gerak Dayah. Rasa keberagamaan bukanlah agama. Agama lebih bersifat formal-komunal tetapi keberagamaan lebih bersifat personal. Rasa keberagamaan merupakan core dari agama itu sendiri. Tidak setiap pakar agama memiliki rasa keagamaan. Sebaliknya tidak setiap orang yang memiliki rasa keberagamaan memiliki pengetahuan tentang agama sebanding dengan pengalamannya. Rasa dan semangat keberagamaan tersebut. Celakanya, justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang cenderung terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu. Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang serius terhadap tasawuf. Kedua, pembentukan nilai/lingkungan yang representatif bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Dayah juga perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sementara agama adalah produk yang sudah jadi. Sudah sekian lama terjadi miss-konsepsi tentang agama dan keberagamaan di dunia Dayah. Rasa keberagamaan selama ini direduksi pada sebatas pengkajian terhadap ilmu agama. Dimensi rasionalitas, spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri malah sering terabaikan. Akibatnya, lahir generasi-generasi yang kaya akan khazanah ilmu agama tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasi dengan predikat santri tanpa mental kesantrian. Lebih lanjut, dalam kehidupan praktis, Dayah hampir tidak memiliki kontribusi dan peran yang aktif dalam melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan berbudaya. Keengganan sebagian Dayah untuk menyelenggarakan pendidikan “formal” di lingkungannya dengan argumen ilmu tersebut bukan ilmu agama menunjukkan adanya kesalahan dalam pemahaman terhadap agama itu sendiri. Nabi SAW bersabda “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah menginginkan umatnya tidak terfokus pada suatu disiplin ilmu akan tetapi juga mau menerima ilmu-ilmu yang lain.
Pemahaman seperti di atas sebenarnya banyak didasari dari perilaku pemerintah yang telah mencampuradukkan antara peran ulama dan pemerintah. Sehingga sebagian orang dayah mempunyai paham bahwa alumni dayah yang kuliah ke sebuah universitas dianggap tidak bagus dan telah menyimpang dari jalur yang sesungguhnya. Pemahaman seperti ini semua disebabkan oleh kebanyakan orang dayah yang telah menyelesaikan kuliah yang sudah berada di pemerintahan semuanya sudah asyik dan sibuk mengurusi urusan pemerintahan dan tidak lagi atau sudah kurang perhatiannya terhadap urusan keagamaan. Tgk-tgk dayah (tidak semuanya) yang sudah masuk barisan pemerintahan sudah kurang perhatiannya kepada agama, agama hanya jadi tunggangan untuk mencapai jabatan tersebut.
Pada dasarnya dayah merupakan lembaga pendidikan agama yang memiliki nilai kharismatik tersendiri oleh masyarakat khususnya Aceh, berbeda halnya dengan peran politik yang saat ini berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini pemisahan kedua versi ini harus terus dilanjutkan oleh tokoh-tokoh kharismatik dayah guna mengembalikan nilai dayah pada tatanan sosial yang terhormat. Sehingga perlu digarisbawahi bahwa peran ulama dayah sebaiknya tetap berada pada posisi mufti, dalam struktur pemerintahan sebagai penyeimbang kebijakan dari pemerintah, dan pemerintah tetap berada pada posisinya yang berperan sebagai eksekutif dan legislatif. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan pertolongan kepada kita untuk mengenal kekurangan dan kelebihan kita dalam rangka membangun rencana dan tindakan yang terbaik untuk masa depan agama dan bangsa.

0 komentar:

Post a Comment